Langsung ke konten utama

Filosofi Larung Sesaji di Telaga Ngebel Ponorogo


Kebudayaan merupakan sebuah kebiasaaan nenek moyang yang dilakukan manusia dalam lingkup sosial tertentu.  Salah satunya kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia ialah larung sesaji.  Larung sesaji itu sendiri merupakan menghanyutkan persembahan berupa makanan atau benda lain dalam upacara keagamaan yang dilakukan secara simbiolis. Larung sesaji terdapat di berbagai daerah salah satunya  yaitu berada di Ponorogo.  Ponorogo merupakan salah  satu kabupaten di Jawa Timur yang memiliki berbagai budaya yang tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya. 
Pada setiap tahun baru Islam atau Sura, Kabupaten Ponorogo mengadakan suatu rangkaian acara berupa  Grebeg Sura.  Dalam acara tahunan ini  ditampilkan berbagai macam seni dan tradisi seperti Festival Reog Mini, Festival Nasional Reog Ponorogo, bedhol pusaka, kirab pusaka dan yang terakir yaitu upacara larung sesaji yang dilaksanakan di Telaga Ngebel. 
Upacara larung sesaji di Telaga Ngebel, dengan salah satu simbolnya dengan upacara larung sesaji dan malam 1000 obor dan upacara larung sesaji pagi. Upacara larung sesaji malam dilakukan dengan melarungkan sesaji berupa  buceng alit,  cok bakal  dan  pitik abang.  Upacara larung sesaji pagi dilakukan dengan melarungkan buceng agung  ke tengah telaga pada waktu pagi hari. Dalam penulisan ini hanya difokuskan pada ritual larung sesaji malam 1000 obor. Dikarenakan memiliki ritual yang berbeda dengan daerah-daerah lain karena menggunakan 1000 obor dalam prosesi yang digunakan sebagai penerangan saat lampah ratih sewudian.
Tujuan diadakannya larung sesaji selain  untuk meminta keselamatan, perlindungan dan rasa syukur kepada Tuhan  serta  sebagai bentuk hormat kepada alam.  Setelah diadakannya larung sesaji di Telaga Ngebel  masyarakat di Ngebel semakin guyub rukun,  Maka dari itu larung sesaji masih terus dilaksanakan dan dilestarikan hingga saat ini, karena merupakan salah satu asset kebudayaan yang wajib dilestarikan.  Tradisi larung sesaji dilihat dari model ritual yang dijalankan,  dalam ritual larung sesaji muncul jauh sebelum Islam datang ke Ponorogo, khususnya ke Ngebel. Karena itu,  tradisi ini lahir dari agama asli penduduk setempat (animisme dan dinamisme) serta terkuatkan tradisi oleh budaya yang diusung oleh agama Hindu ataupun Buddha.  Sedangkan Islam datang ke Indonesia, khususnya di Jawa, penduduk pribumi telah memeluk agama Hindu ataupun Buddha.
Penyebaran Islam dilakukan sangat luwes, dengan menggunakan bahasa penduduk pribumi yang telah memeluk agama sebelumnya. Oleh karena itu banyak aspek peribadatan ataupun ritual agama asli yang sengaja diwarnai dengan nuansa Islami, tanpa mengubah atau mengganti ritual yang dilakukan. 
Berdasarkan asumsi diatas,  wajar ketika  pada tahun 1997 Larung Sesaji diubah karena disinyalir sarat dengan muatan-muatan syirik menjadi Larung Risalah, yang dimaksudkan agar sarat dengan nuansa Islami. Dikarenakan  sebagian banyak masyarakat Ponorogo khususnya Ngebel yang memeluk agama Islam. Perubahan tersebut menyangkut nama sekaligus isi larungan. Sehingga tumpeng dan segala kelengkapannya diganti dengan tulisan Risalah dalam istilh Arab. Serta berisi doa-doa yang ditulis para ulama dan kyai.
Walaupuan awalnya terdapat berbagai kontra dari pada sesepuh dan pemuda sekitar tentang pengantian nama Larung Sesaji menjadi Larung Risalah, dimana ketika proses pembicaraan awal tentang perubahan tersebut mereka tidak dilibatkan, tetapi akhirnya mereka menerima dan mengalah supaya tidak terjadi konflik.
Sebelum diganti menjadi ritual  larung risalah, prosesinya tidak ada  tahlil, serta hidiyah untuk para leluhur,  istighatsah, tirakatan  dengan nuansa islami. Setelah diganti menjadi ritual larung risalah  prosesi tersebut harus dilaksanakan, karena hal itu harus diimbangi dengan acara yang benar-benar murni beribadah pada Allah SWT semata.
Tempat dilaksanakan  ritual larung risalah dan malam 1000 obor di Telaga, pada malam menjelang tanggal 1 Sura. Diadakan pada tanggal 1 Sura, karena menurut “budaya jawa”  disebut bulan Nyepi (dalam bahasa Jawa  meneng  atau kendel) yang berarti bulan bagus untuk mawas diri dan berdo’a kepada Allah SWT dan juga populer dengan istilah mapag tanggal  (menjemput tanggal baru).  Sesuai dengan dilakukannya persis pukul 00.00 WIB.
Prosesi ritual larung risalah dan malam 1000 obor diawali dengan penyembelihan kambing  kendhit. Darah kambing tersebut ditampung di kwali yang dilapisi kain putih kemudian di hanyutkan ke muara telaga. Supaya darah tersebut dapat menyebar ke seluruh  penjuru telaga dalam artian darah yang menyebar itu menyimbolkan penguapan hawa nafsu sehingga jiwa menjadi bersih.
Digunakannya kambing  kendhit karena memiliki simbol kendhitan  yaitu manusia yang suka mengumbar hawa nafsu agar dikekang. Hal ini terdapat pula pada  surat An-Naazi’at 79:40 “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya”. Hal  ini seharusnya menjadi acuan bagi masyarakat, terutama masyarakat Ngebel agar dapat menahan diri dari keinginan hawa nafsunya yang dapat terhindar dari hal-hal yang menyimpang.
Di era global ini banyak sekali godaan yang membuat manusia lupa akan asal-usulnya, banyak penyimpangan sosial yang terjadi efek dari manusia tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya. Kasus-kasus sosial seperti penyimpanagan seksual,  korupsi,  pembunuhan dan lain sebagainya, hal tersebut timbul karena manusia mengumbar hawa nafsu secara berlebihan. Penyembelihan kambing kendhit diharapkan dapat mengingatkan manusia supaya bisa menahan hawa nafsu yang dapat memjerumuskan manusia pada kehancuran baik diri sendiri maupun orang lain.
Prosesi yang kedua, yaitu pada pukul 20.00 WIB diadakan acara  tirakatan atau  melekan.  Ritual ini dilakukan dengan bentuk berjaga atau tidak tidur secara bersama-sama yang dilakukan oleh  tokoh agama, sesepuh serta pegawai pemerintahan Kecamatan Ngebel. Ritual ini dilaksanakan pada dua tempat yakni di pesanggrahan dengan acara membaca  puji-pujian  dari sebuah kitab kebatinan dan dilakukan di Masjid Jami’ Kecamatan Ngebel dengan acara salat Isya  berjamaah.
Selanjutnya diteruskan sujud syukur dan ditutup dengan tahlil serta hidiyah untuk para leluhur. Tujuan diadakannya tirakatan untuk memohon perlindungan dan keselamatan kepada Tuhan. Dalam hal ini melekan  atau  tirakatan memiliki makna yaitu  manusia harus dapat manahan  serta membentengi  diri dari hal-hal yang menyimpang. Prosesi tirakatan  atau  melekan  seharusnya  menjadi acuan kita sebagai masyarakat, karena zaman sekarang banyak sekali hal-hal diantaranya yaitu perilaku hedonisme, konsumerisme dan lain-lain. Perilaku ini muncul dikarenakan tidak adanya  kontrol diri  dalam kehidupan yang dijalani. Diadakannya prosesi tirakatan atau melekan yang diharapkan manusia harus bisa menahan hawa nafsu yang hendak mengotori tatanan batin manusia, karena menuruti hawa nafsu tanpa kontrol akal akan memberikan dampak yang berbahaya.
Prosesi yang ketiga, pada pukul 23.00 WIB, para sesepuh berkumpul diaula kecamatan. Setelah  genduri  selesai saatnya menuju telaga, untuk pelarungan sesaji. Dilaksanakan  genduri   bertujuan untuk meminta kelancaran atas yang diinginkan. Saat ini banyak perikau yang mencerminkan diskriminasi dimana seseorang memperlakukan perlakuan yang berbeda pada kepentingan tertentu. Padahal kegiatan yang dianggap tidak penting,  karena ia tidak mendapatkan manfaat langsung atas hal yang dilakukan tersebut. Diadakannya genduri  ini diharapkan dapat mempererat tali silaturahmi, serta menjaga agar hubungan tidak putus.
Prosesi yang  keempat, yaitu  lampah rati sewudian, ritual ini relatif baru dilakukan pada tahun 2005, ritual ini memodifikasi ritual Sewudinan di Bali, dengan penggunaan lilin, tetapi di Ngebel lilin diganti dengan obor.  Prosesi ini dilakukan dengan mengitari telaga, yang dilakukan oleh para sesepuh dan pemuda sekitar. Para sesepuh membawa  buceng alit  dan  pitik abang.  Buceng alit   tersebut terbuat dari beras merah yang dimasak kemudian dimasak menyerupai bentuk gunung tapi berberukuran kecil.
Penggunaan buceng alit karena dari makna buceng  sendiri yaitu nyebuto sing kenceng  yang artinya sadarlah, sedangkan digunakannya pitik abang memiliki arti abang yang berarti merah, ini dimaksudkan ikhlas dalam berkorban.
Para pemuda sekitar bertugas membawa obor yang terbuat dari botol bekas yang diisi minyak tanah dan diberi kain bekas untuk dijadiakan sumbu. Pengunaan obor tersebut untuk penerangan saat mengitari telaga, jumlahnya genap 1000 obor. Obor yang digunakan  mencerminkan sebuah cahaya, yang  digunakan sebagai penerangan saat berjalan. Cahaya ini mencerminkan  agama atau kepercayan yang dapat menerangi manusia dalam  jalannya kehidupan. Dilakukannya prosesi  lampah rati sewudian  melambangkan perjalanan hidup yang akan dijalani agar mendapat penerangan dari Yang Maha Kuasa. Hal ini seharusnya dapat menjadi acuan masyarakat, tentang pentingnya agama atau kepercayaan sebagai tolak ukur untuk setiap perbuatan yang mereka lakukan, selain itu agama merupakan aspek yang paling besar pengaruhnya  sampai aspek yang terdalam dalam kehidupan kemanusiaan.
Pengunaan pitik abang memiliki makna bahwa dalam menjalani kehidupan dan cobaan harus ikhlas. Makna tersebut seharusnnya menjadi acuan masyarakat karena kunci dari kehidupan adalah ikhlas. Saat  ini banyak kasus-kasus bunuh diri, terutama  di Jawa Timur terdapat 119 kasus bunuh diri, hal ini dapat terjadi dikarennakan kurangnya keiklasan dalam menerima setiap cobaan dari Tuhan, mereka tidak berusaha untuk memecahkan masalah tersebut, tetapi mereka menganggap dengan bunuh diri maka mereka akan dapat menyelesaikan masalahnya.
Pelarungan  pitik abang  ini diharapkan  masyarakat terutama masyarakat Ngebel dapat ikhlas dan sabar atas cobaan yang Tuhan berikan. Ia harus yakin bahwa segenap cobaan bila lalui  dengan ikhlas dan sabar, niscaya bisa menghantarkan dirinya pada kemuliaan.
Prosesi yang kelima, dilanjutkan dengan penanaman  syarat yang berisi  kaki kambing  kendhit  dan  cok bakal.  Digunakannya kaki kambing  kendhit  karena melambangkan tolak bala. Cok bakal   sendiri merupakan daun pisang yang dibentuk seperti mangkuk  (takir)  yang terdalamnya terdapat bumbu masak seperti bawang merah, bawang putih dan lain sebagainya.  Penanaman syarat dilakukan oleh salah satu sesepuh di tiap-tiap penjuru utara, selatan,  barat dan juga timur.
Sedekah merupakan hal yang penting, karena memberikan manfaat diantaranya yaitu dapat mendatangkan rezeki, menolak bala ataupun musibah, dapat memperpanjang umur dan laian sebagainya. Hal ini terdapat pada HR. Thabrani yaitu ”Bersegeralah kalian untuk mengeluarkan sedekah, karena sungguh bencana tak dapat melewati sedekah“. Maka dalam hal apapun kita harus menyisihkan sebagian harta yang kita mliki untuk disedekahkan.
Prosesi yang keenam, pergerakan tersebut berakhir di depan dermaga telaga, pembawa obor yang tiba  di dermaga turun di kanan dan kirinya digunakan sebagai penerangan. Pada saat di depan dermaga para sesepuh melakukan penanaman kepala kambing  kendhit,  kepala kambing  kendhit melambangkan jangan besar kepala atau sombong karena semua akan  kembali ke Tuhan, hal ini dijelaskan  dalam ajaran agama Islam. Di era modern seperti saat ini banyak orang yang menyombongkan harta kekayaan yang mereka miliki, padahal gemerlap dunia merupakan hal yang semu dan sementara.
Penanaman kepala kambing kendhit ini diharapkan agar masyarakat dapat menghindari sifat sombong,  karena  Allah  menciptakan manusia dari tanah maka suatu saat akan kembali ke tanah,  jadi tidak ada yang patut disombongan atas apa yang kita miliki saat ini. 
Prosesi yang ketujuh, pelarungan buceng alit, cok bakal dan pitik abang yang dilarungkan  pada tengah malam,  oleh seorang warga sekitar yang bernama Pak Sarkun. Prosesi melarungkan  buceng alit,  cok bakal  dan  pitik abang,  dengan cara meletakkan  buceng alit, cok bakal  dan  pitik abang  tersebut di perahu kecil yang terbuat dari bambu, dan didorong oleh Pak Sarkun dengan berenang sampai ke tengah-tengah telaga dan sesampainya di tengah telaga kemudian ditenggelamkan. Dan di tengah-tengah telaga tersebut terdapat bambu yang diberi obor yang berbentuk tulisan “1 SURO”.  Setelah itu Pak Sarkun harus berenang tanpa alat bantu sampai menuju tepi telaga.
Pelarungan buceng alit, cok bakal dan pitik abang   mempunyai simbol yaitu segalanya bersumber dari alam maka suattu saat akan kemali ke alam, hal ini seperti halnya manusia diciptakan oleh Allah dari tanah dan akan kembali ke tanah.
Prosesi yang kedelapan, yaitu istighatsah, yang dilaksanakan di SDN Ngebel bersamaaan dengan ritual-ritual diatas, sebagaian masyarakat juga menggelar acara tirakatan dengan nuansa islami. Diadakannya istighatsah adalah menurut umat Islam, tirakatan  sebagaimana dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam tajuk Larung Risalah tersebut berbau syirik, dimana hal ini tidak boleh dilakuakan. Karena hal itu harus diimbangi dengan  acara yang benar-benar murni  beribadah pada Allah SWT semata. Diadakan do’a bersama sebagai ungkapan rasa syukur, lalu dilanjutkan dengan perayaan kembang api serta diadaknnya pentas wayang. 
Sebagai generasi muda selayaknya kita  perlu mengerti dan memahami kebudayaan di sekitar kita yang nantinya akan melestariakan kebudayaan  tersebut, dengan kata lain kebudayaan tersebut nantinya tidak hanya dipahami sebagai hiburan atau tontoran semata, tetapi harus dimengerti maknanya.
Selain itu peran pemerintah dalam melestarikan budaya   bangsa juga  sangatlah penting. Pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan yang mengarah pada pelestarian kebudayaan. Nasional.  Penulisan  tersebut bersimpulkan dilaksanakannya penyembelihan  kambing kendhit, tirakatan, genduri, lampah ratih sewudian, tanam syarat, penanaman kepala kendhit, selametan, pelarungan  buceng alit, cok bakal  dan  pitik abang,  dan yang terakir yaitu  istighatsah dan pentas wayang. Bertujuan untuk meminta keselamatan, perlindungan, rasa syukur kepada alam serta sebagai bentuk hormat kepada alam.
Dari setiap prosesi mempunyai makna yang mendalam dari penerapan perilaku manusia, dari hal tersebut diharapkan manusia dapat menerapkan dalam perilaku sehari-hari dan akan mewujudkan perilaku yang tidak menyimpang. Sehingga terhindar dari perilaku diantaranya yaitu dapat terhindar dari hawa nafsu, penyimpangan seksual, korupsi, pembunuhan, hedonisme, konsumerisme, sehingga dapat mengetahui  pentingnya agama atau kepercayaan sebagai tolak ukur untuk setiap perbuatan yang mereka lakukan,serta dapat lebih menerima cobaan yang Tuhan berikan pada manusia.

  DAFTAR PUSTAKA 
Kusumohamidjojo, B. 2009.  Filsafat Kebudayaan.Yogyakarta. PT. Jalasutra
Moleong, L. J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Muhamad Syahri Romdhon 2015 Malam Seribu Obor, Helaran Sedekah Bumi di Cibuntu Kontributor Cirebon Kompas TV
Kurnianto,Rido.2013 Dinamika Tradisi Larungan Di Ponorogo. Ponorogo: UNMUH  Ponorogo Press.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jathil Obyog

  Kesenian Reyog terbagi atas dua bentuk yaitu reyog display dan reyog play. Reyog Display atau biasanya disebut Reyog Festival yang ditampilkan dalam event – event tertentu misal dalam Festival Reyog Nasional yang diadakan setahun sekali. Sedangkan Reyog Play adalah sebutan bagi Reyog Obyog. Dikatakan obyog karena dalam pementasannya tidak selalu berada dipanggung, penari turun secara langsung dan berbaur dengan penonton. Keistimewaan dari obyog adalah penonton boleh ikut berbaur dalam pertunjukkan dan ikut menari dalam pertunjukan tersebut. Selain itu, kesenian reyog obyog bisa dipentaskan dalam berbagai acara, misalnya hajatan, khitanan, rapat terbuka dll. Kesenian ini memiliki sifat gembira dan dinamis karena reyog obyog adalah sebuah tarian rakyat   dimana penonton boleh ikut menari bersama dengan pemain reyog obyog. Terdapat perbedaan yang mendasar pada unsur penari antara reyog festival dan reyog obyog. Unsur – unsur dalam reyog festival terdiri dari : Kelono ...

Alam “properti” ber-Tuhan

By : Hayik Lana M  Pertanian merupakan bagian dari kehidupan manusia. Petanian adalah salah satu tindakan dari sekian banyak tindakan lain untuk memanfaatkan potensi dari alam. Pertanian mulai muncul ketika masyarakat mampu menjaga ketersediaan pangan bagi diri sendiri dan kelompok. Manusia sebelumnya mengandalkan alam untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Kebutuhan manusia semakin meningkat dan alam sudah tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan pangan, akhirnya manusia yang terdesak kebutuhannya mulai menetap dan bertani. Tinggal menetap dan bertani tersebut berdampak pada kemunculan peradaban-peradaban dunia   Gambar : Perusahaan membakar hutan di Gala-Gala, Tapanuli, 1933. Foto: KITL Marsden mendapati pada April-Mei, jelang musim kemarau, petani telah memilih dan menandai hutan untuk ladangnya. Masyarakat memilih cara cepat meratakan pohon-pohon besar di hutan dengan memercikan api dari dua flint yang diadu. “Api bisa be...