By : Gareng
Hari itu adalah hari libur nasional. Hari yang membuat kesibukan antara ibu dan anak, hanya sebatas rumah dan halaman, atau sesekali ibu pergi ke warung depan untuk gabah, dengan tetangga. eh gibah.. ~
Hari itu adalah hari libur nasional. Hari yang membuat kesibukan antara ibu dan anak, hanya sebatas rumah dan halaman, atau sesekali ibu pergi ke warung depan untuk gabah, dengan tetangga. eh gibah.. ~
Aku pagi itu masih “malas” untuk beranjak dari tahta
tidurku. sebuah kebiasaan yang biasa aku lakukan setelah ibadah pagi aku
kembali bergumul dengan guling kumalku. Aktifitas yang bisa disebut “malas”.
Matahari sudah mulai segar, setelah dibasuh dengan
embun pagi yang mulai menguap untuk bergelut menjadi udara. Sinar yang
dipancarkan mulai muntup – muntup
dari gorden kamar yang masih aku kancing rapat – rapat.
Pintu diketuk oleh ibu, dan dibuka pelan. “Le, opo
arep males – malesan saja, itu ayam udah pergi kepasar mencari makan, lha kamu
masih bergelut dengan ilermu saja” Le
atau thole, panggilan anak lanang
dalam bahasa jawa.
Tidak biasanya ibu membangunkanku pagi – pagi.
“nggih, iya bu”
“masa gara – gara Juventus imbang sama Tottenham,
kamu males – malesan gini”
“halah, sejak kapan ibu jadi komentator bola?”. Ibu
sudah nyelonong pergi mboten dengar.
aku beranjak malas dari, kemudian pergi kedapur
untuk membuat kopi, ternyata ibu yang sedang memasak.
ibu menyeletuk. “hmmmm,, lha kok ndak cuci muka
dulu, malah bikin kopi. makanya cari istri, biar ada yang bikinin kopi”
“halah bu, mau bikin kopi aja kok nunggu nikah. tiap
hari aku dibikin kopi sama mas gondrong dan dia ndak nuntut buat tak nikahin
bu” sambil ketawa jahat
“lha, abis baca buku apa kok ngelesmu tambah. lha
apa gendeng ngerabi mas gondrong. kamu abis baca buku liberal opo? mau ibu uleg
sini buat menghemat harga garam yang mulai mahal?” ibu nyeletuk sambil nguleg
cabe – cabe tanpa bonceng tiga.
aku konsentrasi dengan kopi yang sudah aku seduh,
mengaduk penuh konsentrasi.
“le, nanti resik
– resik halaman ya, sekalian nanem strobery”
“iya bu, lagian kemarin ibu kan sudah nanem jeruk,
apa masih potnya?”
“lebih banyak nanem lebih baik le, jaga –jaga nanti
kalau ada tetangga yang butuh le. lagian nanem banyak belum tentu hidup semua.
Ibarate nandur pari wae, kadang
tumbuh suket teki” kemudian ibu
nyanyi lagu yang sedang hits oleh nella kharisma itu.
“Rrrrrrr, kebanyakan nonton acara dangdut alay Tv Jenengan
itu bu”
“yowes sana, ndang abisin kopinya ibu udah hampir
selesai masak”
Kopi yang masih panas tidak buru – buru aku minum,
segera aku pergi kekamar untuk ganti baju dan mencari alat tanam di gudang
belakang. Halaman rumah kami tidak cukup lebar, ada beberapa tanaman yang sudah
kami tanam. Mulai dari jeruk, mangga, cemara, sawi dan cabe yang tentunya tanpa
memakai hots pans.
Sebelum aku mulai, aku menyeruput kopi yang sudah
mulai menghangat. Aku lebih suka sesuatu yang hangat dari, berbeda sekali
dengan masa laluku yang lebih suka minuman dingin. Karena minuman hangat
ternyata membawa dampak psikologi. Minum minuman hangat akan membuat orang
lebih ramah di depan orang lain. lebih terlihat murah hati dan tidak egois,
karena hangat identik dengan menenangkan hati. cuiiiiiih..........
Kopi aku minum dengan tangan kanan, rokok ditangan
kiri dan jodoh ditangan Tuhan.. ehhhhh...
Ibu sudah keluar rumah dengan sarung tangan berwarna
putih yang di jepit diketiak beliau. tangan kanannya memegang cetok untuk menggali tanah gembur.
“itu potnya bawa sini, terus ambil tanah dibelakang
rumah” ibu bersabda.
segera aku menuju ketempat pot dan meraih gagang
pacul disekitar pot.
belum kami memulai, lewatlah tenagga kami, si Brow
dengan menggendong anaknya. Siva namanya.konsentrasi ibu sepertinya pecah untuk
menanam. ditaruhnya barang – barang tadi dan ibarat elang jawa yang perutnya
sedang krucuk - krucuk, ibu langsung
menyamber anak dalam gendongan tadi. tanpa izin dengan si empu-nya, langsung
saja digendong.
aku melongo “meeeeeeeh”
“Bu, ibu. ayo tak antar ke tukang poto copy”
“Sik, aku mau Ngudang
siva”
“lha iya, dari pada nyamber begitu mending siva di
scan atau di foto copy terus dilaminating biar tahan air”
Si Brow nyamber. “peka to makanya, itu kode. ibumu
ini kaya wanita umum jo” panggilan akrab si brow kepadaku
“Pandai dalam hal mengkode – kode, kamu saja yang
ndak nggeh” omongannya sedikit, seperti makan terigu tanpa air. seret....
“omongan pawon,
abis follow lambe turah?” hidungku mekar.
dia tertawa terbahak – bahak.
“mboh mas, anakku itu emang begitu. mau ngejar
apalagi. wong umurnya udah cukup buat menikah. kok ndadak mbulet ae kaya wanita
bikin alis”
Kemudian aku melengos pergi ke belakang rumah untuk
mengambil tanah dengan membawa gerobak sorong. terkekeh – kekeh dengan omongan
ibu tadi. Setelah penuh aku kembali kedepan untuk mulai menanam. Sampai depan
sudah tak kudapati lagi anak dengan bapaknya tadi. oke, cukup lega pikirku.
ndak ada omongan tahu bulet lagi.
ibu terlihat berduyun – duyun menggengam batang –
batang strobery. tampak sibuk memilah – milah bibit yang masih bagus untuk
ditanam.
“Taruh sana tanahnya campur sama pupuk organik yang
kamu buat kemarin, masukin pot”
belum juga aku selesai mencampur tanah dengan pupuk,
ibu sudah bersabda lagi. kali ini beliau bertanya.
“Ngerti artinya lemah
le?” lemah, dalam bahasa indonesia
disebut tanah.
“lemah gemulai bu? ndak aku ndak suka wanita yang
lemah gemulai”
“wooooooooo, bocah
opo bolah kok ruwet” kemudian ibu tampak mekrok hidungnya.
“sudah pernah baca tentang filosofi tanah le?”.
“sampun boskuuuu” panggilan sayangku kepada ibu.
“lha ya, tanah itu sabarnya ndak ketulungan ya le,
bayangin. dia selalu dibawah. kamu ludahi, kamu pipis i, kamu injak, kamu pacul
– pacul, tapi dia tetap memberi kehidupan bagimu. tetap menumbuhkan tumbuhan
yang kamu tanam. dia tidak pernah protes untuk ditaruh diatas, dia tidak pernah
protes untuk dihormati, dia tetap dibawah untuk menopang hidup manusia”
“tapi kadang tanah itu juga membuat tangis bu”
“kadang, tapi kan banyak ndaknya”
“lha itu, tetangga sebelah kita berapa KK yang
dievakuasi karena tanah lagi sewot sama mereka”
“ya sewot, memang mereka ndak menjaga stabilitas
tanah kok, itu mereka semua jadi tukang cukur se enak udel mereka sendiri. nebang – nebang pohon tanpa dihitung kontruksi
tanahya kalo pohonnya ditebang”
“iya bu, jadi bencana”
“lha ngawur, istilah bencana itu ndak ada. yang ada
cuman kepentinganmu yang berbenturan dengan alam”.
“alam itu akan memperbaiki dirinya ketika
ekosistemnya dirusak sama manusia. memperbaiki dirinya untuk memenuhi pelayanan
kepada manusia lagi”
“tapi kok ndak pada sadar ya bu, malah manusianya
semakin serakah”
“setiap manusia itu pemimpin bagi dirinya sendiri
le. dijalin dengan kerja sama. bisa kerja sama dengan sesama manusia atau
dengan alam. bisa kamu bayangkan, kalau manusia itu tanpa bekerja sama, spesies
kita akan hilang dari dulu kalau tidak bekerja sama”.
“kerja sama yang positif loh bu, bukan kerja sama
negatif. misal kerja sama buat nyerang KPK, supaya lembaga negara itu lemah
dalam menghadapi koruptor”
“ gundulmu le wakakakakakkaka” ibu terkekeh – kekeh
“kalau tanpa kerjasama kita bisa senasib dengan
ankylosaurus, stegosaurus, Tyranosaurus dan lainnya”
“ada kok bu jenis dinosaurus yang masih bertahan
sampai sekarang”
“opo kuwi le?’
“oraurus”
“woooo,, bocah ra
genah. pantesan jodohmu ya ora genahí”
“lha bener loh bu, kita sibuk dengan urusan masing –
masing. terbawa arus kapitailisme. kita berlagak spiritualis disosial media,
tapi sikap kita meterialis. bisa ibu bayangkan, kita berlomba – lomba naik haji
dan umroh berkali. tapi tetangga kita ada yang rumahnya mau roboh, ada yang
kelaparan, dan ada yang sakit tapi tidak ada biaya untuk berobat karena ndak
didata di bpjs kesehatan”
“ah kok dadi gabah le”
“gibah bu gibah”
“yo mbuh, kui
lah pokoknya”
“tapi le,
mbok kamu inget umur. Ibu ini sendiri dirumah kalau kamu kerja. Cuma sesekali
kita bertemu dengan kesibukan masing – masing. sudah 28 tahun kamu le, kapan
ibu iso masak bareng menantu” ibu sambil sibuk menacapkan strobery di pot – pot
yang penuh dengan tanah.
aku pura – pura menjauh, melengos untuk meneguk kopi
yang sudah mulai dingin, seperti perasaanku yang dingin dan malas ketika
membicarakan jodoh. Bukannya aku tidak berkeinginan menikah, tapi untuk hal
yang semacam itu perlu sesuatu yang mantap dari dasar hati. seperti peristiwa
wudlu, kita harus mantap sedang membersihkan diri. bisa kalian bayangkan, wudlu
bukanlah aktifitas fisik tapi simbol dari aktifitas rohani. lha wong yang
kentut bolongan nganumu, yang dibasuh kok mukamu. tetap, ideologis saya diawali
dari niat.
obrolan seperti itu sering kamu lakukan ketika kami
sama – sama libur. banyak hal yang dibahas mulai dari ekonomi, politik dan
sosial. tapi ujung – ujungnya pasti soal jodoh. krik.. krik.. krik..
Ibu memang tidak berpendidikan tinggi, tapi beliau
suka mencari tahu apa yang ada disekelilingnya lewat ceramah – ceramah Cak Nun,
Gus Mus dan Mbah tedjo di youtube. makanya kita banyak nyambungnya kalo
mambahas hal – hal sosial ngalor ngidul.
Aktifitas kami berakhir setelah semua tanaman
strobery berhasil ditanam. sambil duduk – duduk didepan kolam memperhatikan
ikan nila kami yang tidak segera beranak.
“lha kok ikannya ndak tambah – tambah ya bu”
“iya itu salahmu le”
“laki – laki selalu salah dimata wanita bu”
“iya salah, ikan itu tahu ikan, dia tenggang rasa
sama manusia”
“meh, ada yo ikan tenggang rasa sama manusia”
“yo ada, dia malu mau beranak, lha wong yang punya
saja ndak punya pasangan, ndak gimana dia punya anak. kemarin ikan ibu,
whatsapp begitu sama ibu”
“bu,,, mau hujan, aku mau ngangkatin jemuran”
“woooo, dijak
ngomong malah minggat. jurusmu semoyo endo semakin bagus le. kaya ibu –
ibu yang pura – pura sakit mencret menular pas mau ditagih angsuran. panas –
panas gini mana ada hujan” ibu mekrok lagi hidung dan kupingnya
aku ngakak dalam hati dan pergi begitu saja untuk
mandi. tidak mengindahkan cerocos ibu yang sayup – sayup melampiaskan mekroknya
sama ikan yang komat kamit sambil jigang didalam kolam.
Komentar
Posting Komentar