Langsung ke konten utama

MALAS



By : Gareng


Malam ini tak nampak cahaya rembulan. Sorot rembulan tampak malas, mengendap diantara awan – awan berpagar – pagar rapat. Angin malam pun tak mau ketinggalan, dia begitu malas membelai dedaunan yang pasrah untuk dibelai. Tak ada goncangan, daun – daun tampak kaku. Tidak terganggu fotosintesisnya. Dia nampak lebih berkonsentrasi menyiapkan oksigen untuk manusia – manusia yang hidungnya rakus di siang hari. Pohon – pohon disekitar sini terbatas ekosistemnya, banyak gugur untuk baktinya kepada manusia. Bakti yang tak pernah di indahkan, tidak pernah dihitung, dianggap sebagai penggangung kepentingan manusia. cuiiiiihhhhh.....
Suara cicak menyelamatkan gendang telingaku yang haus. Dia menyiratkan akan adanya kehidupan. Aku telusuri, dari mana arah suara itu. Tidak jauh dariku, ternyata cicak bermalas – malas disamping jendela yang menahan gelombang hawa dingin yang ingin merobek membelai halus kulit dan menimbukan perubahan tensi disana.
Cicak sedang melaksanakan aktifitasya, untuk menyambung hidup. Mencari nyamuk yang juga ingin menghisap darah – darahku. Pandanganya tajam, tak perlu senjata tambahan hanya mengandalkan lidahnya yang menjulur untuk menjilat. Kakinya kokoh menahan tubuhnya yang kecil berisi sel – sel yang terorganisir. Tak selemah manusia yang selalu menggunakan mesin untuk memenuhi keinginan dunianya. Menjilat keatas dengan lidahnya, menindas kebawah dengan kaki lemahnya. sombong.
Sementara itu, aku berpaling dari cicak yang masih mencari sesuap nyamuk. aku mencoba tertidur untuk memalaskan badan yang sehari ini terlalu banyak aku kuras dayanya karena ambisi – ambisi hawa nafsuku. Disampingku tergelat sebuah ponsel, yang dari seharian aku putus jaringannya. Malas. . .
Aku masih berifikir, aku hidupkan, aku atau malah aku cabut daya ponsel ini. Hidupku cukup terganggu dengan kehadiranmu. Ya, walaupun diawal aku menginginkanmu untuk menjalin relasi dengan benda – benda fana yang bernyawa. Tapi, syarafku membawa pengaruh kepada otakku untuk keinginan lain. Jariku tanpa dikomando bergerak dengan malas, memilih tombol mode pesawat diponselku. Ujugnya menyentuh layar, dan mempengaruhi jaringan internet untuk masuk mengakses jaringan didalamnya.
beberapa pesan singkat masuk di aplikasi sejuta umat. Whatsapp. mulai dari grup – grup penting sampai yang tidak terpenting. Hasil karya teman – temanku juga mulai masuk berupa teks – teks pendek sekedar bertegur sapa. Malas... aku abaikan tak aku buka satu – satu. aku taruh ponsel itu, aku biarkan dia bekerja sebagai mana mestinya. Malas...
Otakku kembali berfikir, kenapa begitu rasa malas terus – terusan memelukku. Bahkan untuk sekedar bernafaspun, aku mulai malas. suara bising yang timbul dari hidungku. betapa aku tidak mensyukuri apa yang diberikan Sang Hyang Agung. Aku menghalangi aliran udara yang dibutuhkan jantung untuk memompa darah berjalan keliling melalui pembulu.
Mencoba memejamkan mata, di benakku mulai timbul bayang – bayang itu. Seonggok daging yang sebelumnya aku puja – puja, tapi aku acuh, sombong. Aku biarkan lamunanku itu.
“apa mau terus seperti ini? aku capek” sambil memukul lenganku dengan tangannya.
“aku lebih capek ketika rindu kepadamu, aku tahu kita saling rindu bukan karena jarak kita masing – masing. aku tahu kita rindu karena perasaan” aku menunjukkan gigiku
wajahnya masih tampak lesu. Pertemuan yang tidak terlalu sering diantara kami, sesekali dalam setengah tahun. Tapi aku tidak berusaha menghangatkan perasaannya yang murung.
“aku besok sore balik ke Jogja” kata – katanya datar.
“katanya libur sampai minggu depan?”
“iya libur, tapi untuk apa aku disini jikalau sosok yang ingin kau temui seperti ini”
“aku capek”
“apa kamu tidak lebih capek ketingga dulu mengejar - ngejarku”
“hmmmmmmmmmm......sudah cukup?”
“sudah, lebih baik kita akhiri semua ini”
“iya, aku ingin kita berakhir dihubungan ini” jariku tergopoh – gopoh merogoh saku.
wajahnya tampak lebih murung.
“3 tahun kita bersama, berakhir seperti ini” matanya mulai berembun
“aku ingin kamu memakai ini” sambil mengeluarkan cincin dari sakuku.
“aku,,, ingin melamarmu” wajahku tersenyum seperti boboho ketika masih lucu - lucunya
Dia tidak menjawab, dari matanya keluar air keabadian. Pipinya menyembul seperti adonan roti yang baru diaduk.
“dua minggu mengacuhkanku, ini yang mau kau perbuat?” dia mulai tersenyum simpul. pipinya tertekuk begitu manisnya. Bunga abad ke 21!!
“dua minggu aku mengumpulkan keberanian, aku memalas – malaskan diri untuk memenuhi keberanianku” berlutut takluk didepannya. dia mengulurkan jari manisnya untuk aku balut dengan cincin murahan itu.
“aku akan datang kerumahmu besok lusa, dengan ibuku” suaraku merendah
ponselku berdering, berbunyi ayam berkokok. aku segera meraihnya.
pukul 05.00 pagi. Sial, aku mimpi.
aku tergopoh – gopoh segera menuju ke kamar mandi, kantong kemihku serasa ingin pevah menahan hasrat ingin pipisku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Larung Sesaji di Telaga Ngebel Ponorogo

Kebudayaan merupakan sebuah kebiasaaan nenek moyang yang dilakukan manusia dalam lingkup sosial tertentu.   Salah satunya kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia ialah larung sesaji.   Larung sesaji itu sendiri merupakan menghanyutkan persembahan berupa makanan atau benda lain dalam upacara keagamaan yang dilakukan secara simbiolis. Larung sesaji terdapat di berbagai daerah salah satunya   yaitu berada di Ponorogo.   Ponorogo merupakan salah   satu kabupaten di Jawa Timur yang memiliki berbagai budaya yang tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya.   Pada setiap tahun baru Islam atau Sura, Kabupaten Ponorogo mengadakan suatu rangkaian acara berupa   Grebeg Sura.   Dalam acara tahunan ini   ditampilkan berbagai macam seni dan tradisi seperti Festival Reog Mini, Festival Nasional Reog Ponorogo, bedhol pusaka, kirab pusaka dan yang terakir yaitu upacara larung sesaji yang dilaksanakan di Telaga Ngebel.   Upacara la...

Jathil Obyog

  Kesenian Reyog terbagi atas dua bentuk yaitu reyog display dan reyog play. Reyog Display atau biasanya disebut Reyog Festival yang ditampilkan dalam event – event tertentu misal dalam Festival Reyog Nasional yang diadakan setahun sekali. Sedangkan Reyog Play adalah sebutan bagi Reyog Obyog. Dikatakan obyog karena dalam pementasannya tidak selalu berada dipanggung, penari turun secara langsung dan berbaur dengan penonton. Keistimewaan dari obyog adalah penonton boleh ikut berbaur dalam pertunjukkan dan ikut menari dalam pertunjukan tersebut. Selain itu, kesenian reyog obyog bisa dipentaskan dalam berbagai acara, misalnya hajatan, khitanan, rapat terbuka dll. Kesenian ini memiliki sifat gembira dan dinamis karena reyog obyog adalah sebuah tarian rakyat   dimana penonton boleh ikut menari bersama dengan pemain reyog obyog. Terdapat perbedaan yang mendasar pada unsur penari antara reyog festival dan reyog obyog. Unsur – unsur dalam reyog festival terdiri dari : Kelono ...

Alam “properti” ber-Tuhan

By : Hayik Lana M  Pertanian merupakan bagian dari kehidupan manusia. Petanian adalah salah satu tindakan dari sekian banyak tindakan lain untuk memanfaatkan potensi dari alam. Pertanian mulai muncul ketika masyarakat mampu menjaga ketersediaan pangan bagi diri sendiri dan kelompok. Manusia sebelumnya mengandalkan alam untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Kebutuhan manusia semakin meningkat dan alam sudah tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan pangan, akhirnya manusia yang terdesak kebutuhannya mulai menetap dan bertani. Tinggal menetap dan bertani tersebut berdampak pada kemunculan peradaban-peradaban dunia   Gambar : Perusahaan membakar hutan di Gala-Gala, Tapanuli, 1933. Foto: KITL Marsden mendapati pada April-Mei, jelang musim kemarau, petani telah memilih dan menandai hutan untuk ladangnya. Masyarakat memilih cara cepat meratakan pohon-pohon besar di hutan dengan memercikan api dari dua flint yang diadu. “Api bisa be...