Pagi – pagi itu, sepedah motor Manas meluncur dari
pusat kota. Berjalan pelan menuju ke Timur. Dia bergegas pulang. Lebih dari
sebulan dia tak pernah menghirup udara sejuk kampung halamannya. Pemuda 26
tahun, yang pekerjaannya belum tetap dan masih sering nganggur karena belum ada
perusahaan yang ingin memakai tenaganya. Pekerjaannya sehari – hari menambah tumpukan
map berwarna yang belum terbaca dari kantor ke kantor. Map berwarna coklat , di
bagian luar tertulis nama dan nomor telepon gengam, berisi daftar riwayat
hidup, dan foto formalnya.
Desanya diatas lereng gunung, terletak selatan kota.
Anak dari tunggal dari pasangan petani itu, butuh 2 jam perjalanan dari kota
untuk sampai di tanah yang berjasa memendam ari –arinya sebagai teman didalam
kandungan ibunya. Desa itu mulai sepi, karena mulai ditinggalkan para generasi
mudanya untuk pergi ke kota.
Seperti halnya para pemuda yang lain, Manas sudah 7
tahun lebih merantau di kota. Dimulai sejak dia menginjak bangku SMA selama 3
tahun, dilanjutkan dengan kuliah di Ilmu teknik Industri, selama 8 semester. Nilai
yang dicapai ketika kuliah 3,8.
Jalan yang ditempuhnya untuk kembali ke bumi dia
dilahirkan, berkelok – kelok dan naik tanjakan. Dikanan kiri, banyak sawah –
sawah yang sudah mulai tergusur singgasananya oleh pembangunan – pembangunan.
Lumpur – lumpur menjadi padat, padat dengan semen dan material bangunan.
Pandangannya lurus ke depan, tak mengindahkan padi –
padi yang tampak menguning. Burung emprit, saling terbang bergerombol. Tak terorganisir,
mulutnya sesak dijejali butir – butir padi.
Manas lebih berkonsentrasi pada jalan yang ditumbuhi
banyak lubang. Seperti halnya akar pohon, lubang – lubang itu terus menjalar ke
kanan – kiri karena digerus beratnya muatan yang harus mereka pikul. Sudah lama
diabaikan perbaikan jalan menuju desanya. Jalan cor dari semen, sudah tidak
nampak semennya. Debu – debu beterbangan ketika laju roda motor manas selesai
berpijak.
Tangannya cukup telingkas mempermainkan setir
motornya. Dengan lengan kanan yang lebih kuat setirnya belok ke kiri, dengan
lengan kiri lebih kuat, setirnya belok ke kanan. Dia tidak ikhlas bila roda
motornya jatuh ke lobang yang dihuni batu – batu kerikil besar. Dia tampak tak
mengeluh, raut mukanya tetap datar. walaupun terkadang dia heran tentang
pemerataan pembangun. Orang tuanya taat membayar pajak, tapi pemerintah tidak
taat menyalurkan pajak – pajak, yang entah ikhlas atau tidak ketika
pemenuhannya.
1 jam perjalanan ditempuh, jalan datar sudah nampak diujung.
Motor Manas ditantang jalan menanjak dan berkelak kelok, belom lagi lobang –
lobang jalang sudah membuka rongga mulutnya untuk menelan roda motor Manas.
Tanjakan pertama menjadi tanjakan paling menantang, gigi motor dia pastikan
digigi yang paling rendah untuk memastikan motor 110 cc nya akan mampu
merangkak naik sampai diatas.
1 jam waktu yang dibutuhkan untuk merangkak –
rangkak di jalan yang kanan kirinya menggantung lereng – lereng tajam agar dia
bisa sampai di rumahnya. Motornya tampak ngos – ngosan walaupun sudah terbiasa
dengan medan yang dia gilas hampir sebulan sekali. Bau khas dari motor
kepanasan mulai menyeruak dipelataran rumah Manas.
Dia matikan kuda besinya, kemudian dia bergegas
masuk ke rumah.
“Ibu, bapak.. assalamualaikum....” tangannya nampak
terampil mempreteli jaringan tali sepatunya.
tak ada yang menyahut panggilannya. Dia masuk ke
dalam rumahnya, tak terkunci. Tak ada orang dirumah.
Rumah Manas berbentuk joglo, menghadap ke selatan.
Orang tuanya masih percaya dengan filosofi arah rumah orang – orang jawa.
Dihadapkan ke selatan, karena angin di Jawa lebih banyak bertiup dari arah
selatan ke utara. Mereka percaya akan kesehatan sirkulasi rumanhya bila
rumahnya menghadap ke selatan.
Tidak banyak tetangga di lingkungannya, hanya
sekitar 40 rumah.
Masuk ke dapur rumah, “assalamualaikum, bapak, ibu.”Tak
ada jawaban, hanya gema dari suaranya yang memantul dari tembok rumah yang
masih telanjang belom dilapisi semen batu batanya.
Di dapur, hanya didapatinya gabah yang baru dipisahkan dari habitat tumbuhnya. Dia baru ingat
kalau musim panen telah tiba di desanya.
Bergegas dia ganti kaos lengan pendek dan celana jeansnya, berganti kaos lengan
panjang dan celana training. Diambilnya topi berwarna abu - abu putih,
disamping masih jelas tulisannya. SMA Pembangunan.
Untuk sampai ke sawah tempat bapak ibunya memanen
padi, dia harus menyeberang sungai yang dipenuhi endapan lumpur. Dia harus
melewati hamparan kebun ketela pohon yang bersesak – sesak berebut cahaya
matahari. Suara burung – burung masih ramai bersahutan, angin semilir, berdesir
diantara pohon – pohon, menggugurkan daun – daun uzur yang sudah tak keras
genggamannya dengan ranting pohon.
Kakinya yang
terbalut celana hitam, mulai digelantungi oleh rumput – rumput jarum yang ingin
mengikuti gerak kakinya. Sudah mulai nampak, Pak Darsono, laki – laki 55 tahun
dengan capil atau topi dari anyaman
bambu yang sudah tidak rata anyaman disampingnya.
“bapak, assalamualaikum” Manas tergopoh – gopoh memanggil
bapaknya.
“woooe,, manas. walaikumsalam” tangan bapaknya masih
memegang gagang pacul yang dilumuri lumpur coklat.
“Sudah panen pak?” Manas mendekat melewati pematang
sawah yang penuh dengan rumput – rumput pendek mendekati bapaknya.
“Sudah le, ini sudah mulai bikin papan buat bibit
baru” mata bapaknya sumringah melihat anak semata wayangnya
“ibu mana pak?” pandangan Manas berpindah dari
bapaknya mencari – cari ibunya.
“ibu metik pari dirumahnya pak Ryan le, sudah 3 hari
ini belom selesai. Maklum sawahnya pak Ryan luas” bapaknya mulai mencuci gagang
pacul
“ayo berteduh dibawah sana, sekalian bapak mau ngudut”
Mereka berdua menuju pohon cengkeh yang sudah dua
musim tak berbuah, karena alam yang tak menentu. Dituangkannya kopi bapaknya ke
gelas yang sudah terpakai dan kanan kirinya ada bercak – bercak lumpur coklat.
Mereka tampak menikmati harum tanah yang bercampur air, jangkrik yang lompat
tinggi – tinggi untuk menghindari ayam yang mulai berkeliaran.
Seorang bapak – bapak berusia 60 tahunan datang
mendekat. Pak Jaka, satu – satunya pensiunan guru di desa itu. Memanggul
cangkul yang sudah dibersihkan dari jeratan lumpur – lumpur.
“weeeeh, Manas, kapan dateng le?” pak Jaka mendekat
ikut menggerombol dengan bapak dan anak yang saling melepas rindu.
“barusan pak, sambil menyalami pak Jaka”
“gimana sekolahmu?” frekuensi bertemu dengan
tetangga jauhnya itu, membuat informasi kelulusannya belom tersampaikan.
“sudah lulus 1 tahun yang lalu pak” wajahnya tampak
berseri.
“alhamdulillah, selamat ya le, semoga ijazahmu
membawa berkah bagimu dan orang – orang disekitarmu”
“dari mana pak Jaka?” pak Darsono memutus tanya
jawab pak Jaka dengan anaknya.
“ini pak, barusan lihat sawah, kemarin pak Tepil
baru menggadaikan sawahnya untuk membayar ujian Endah anak gadisnya yang
sekolah Kebidanan universitas swasta di Surabaya” Wajahnya tampak mendung
“waah, semakin banyak pak sawahnya” Manas menyambung
pertanyaan bapaknya.
Wajah pak Jaka nampak lesu mendengar pertanyaan itu.”saya
kepepet dek Manas, sebenarnya saya ndak mau menggadai sawahnya pak Tepil, tapi
beliau nampak memaksa dan kepepet, saya kasihan” melepas topi anyaman bambu
yang masih bagus dari kepalanya.
“Kepepet gimana to pak, kan jenengan bisa nambah
banyak panennya gabah ditambah anak – anak bapak yang rajin untuk berwirausaha
menjadi petani yang modern” Pak Darsono menimpali.
“bukannya saya ndak percaya sama pak Tepil, tapi saya
kasihan sama beliau. Sawahnya sudah habis digadaikan semuanya ke saya. 10 kotak
lebih” diayun – ayunkannya capil untuk menghilangkan keringat yang merambat
diwajahnya
“Pak Tepil itu sudah habis sawahnya untuk biaya sekolah
anak gadisnya” Pak Jaka menambahi.
“loh, sekolah Bidan pak, saya kira dulu di teknik
industri pak” Manas mencoba menjelaskan tentang pendidikan adik kelasnya itu.
“Iya awalnya, kemudian pindah karena tidak kuat
dengan lingkungannya ke sekolah kebidanan yang biayanya mahal untuk ukuran
petani seperti kita pak”
“Iya pak Jaka, saya bersyukur anak saya ini mendapat
beasiswa 4 tahun, kalau ndak dapat beasiswa, ya saya suruh kerja seadanya pak”
wajah pak Darsono nampak bangga melihat anaknya yang sedari tadi mulai menunduk
malu
“Iya pak syukurlah. Ya dari dulu nasib petani
seperti itu pak, hanya dimanfaatkan namanya. Mulai dari zaman orde lama, orde
baru sampai sekarang ini” Pak Jaka mengeluarkan rokok kreteknya dan mulai
disulut
“Saya berfikir dengan menyekolahkan anak saya,
kehidupan anak saya bisa terangkat dari kubangan lumpur ini. Ya, walaupun
lumpur ini yang sudah berjasa membuat gumpalan daging ditubuh saya dan anak
saya, saya berharap anaknya saya ndak hidup susah menjadi petani, tapi kadang
saya juga berfikir, siapa yang bakal melanjutkan mengolah sawah dan ladang
saya.” Pak Darsono nampak mengerutkan
dahinya.
“Kebimbangan bapak, ada dibenak saya juga pak, saya
takut menjadi budak kapitalis, tapi saya takut kalo tidak amanah dengan ilmu
yang sudah bapak usahakan untuk saya. ”Wajah manas masih disembunyikan
menghadap kebawah
Pak Jaka tertawa renyah”Ya begitulah kehidupan petani,
penting akan tetapi terhitung sebagai strata terbawah di negara ini”
“Maksudnya bagaimana pak?” pak Darsono nampak
bingung dengan penjelasan pak Jaka, karena beliau hanya lulusan Sekolah Dasar
“Coba bayangkan, dari zaman dahulu, mana ada anak –
anak kecil yang cita – citanya menjadi petani, pasti cita – cita mereka sebagai
pegawai – pegawai pemerintahan seperti Presiden, Dokter, Guru, Pilot ataupun
Polisi. Mereka dilatih dari kecil oleh orang tua mereka dijauhkan hidup dari
lumpur pertanian. Di sekolah mereka belajar disiplin, bersepatu, berpakaian
rapi seperti pegawai - pegawai itu bagus untuk mental kedisiplinan mereka, mereka
berlomba – lomba meraih angka untuk menjadi yang terbaik. Tapi disatu sisi
mereka ketika lulus sekolah masuk ke sistem yang diajak untuk bergelut dan
bersaing saling sikut berebut kursi pekerjaan di bidang masing – masing”
“saya ndak sampai mikir kesitu pak” pak Darsono
tampak menyerap kata demi kata yang keluar dari mulut pak Jaka disertai asap
rokok.
“Peran orang tua disini sangat vital dalam
menentukan sudut pandang dari sang anak, mereka rela bersusah payah supaya anak
– anak mereka untuk mendapat sukses sebagai pegawai dan mendapat jabatan tinggi
untuk dibanggakan ke lingkungan sekitarnya.
Pemikiran orang desa seperti kita terkena imbas dari
modernisasi, berbagai iklan yang mengelabuhi. Ditampilkan secara bagus,
berdasi, sepatu mengkilat, rambut diminyaki dengan kilatnya. Pengaruh ini luar
biasa, berkembang di kepala orang tua untuk menyulap anaknya menjadi manusia
modern yang hidup dari industri.” pak Jaka terus nyerocos
“Apa yang bapak katakan tidak salah pak, dan anak
saya juga terkena efek dari pemikiran saya yang seperti itu” Pak Darsono
memandang iba hamparan kecil sawahnya
Manas semakin menunduk malu, dia tidak terampil
untuk bermain dengan pacul. Dia tidak terampil mengolah batang – batang padi
yang harus ditanam dengan keikhalsan, dia tidak bisa membaca kapan seharusnya
padi di beri makan, kapan dijauhkan dari hama dan selanjutnya diserahkan kepada
Tuhan untuk pertumbuhannya.
“Bisa anda bayangkan seperti pak Tepil tadi, tanah
tergadaikan, apa yang mau diolah, dia akhirnya hanya kerja serabutan untuk
memenuhi kewajiban makannya.”
“Anak muda yang turun kedunia kerja, berlomba –
lomba untuk bisa bertahan lama dijabatannya, dia tidak peduli dengan lingkungan
sekitarnya. Dunia kerja menjadi dunia yang kejam, tubuhnya digadaikan demi
seonggok gaji. belum lagi konflik dengan teman sejawatnya, menimbulkan iri hari
seperti iblis yang iri kepada Adam. membuat manusia bersaing dalam materi, lupa
akan jati diri yang kemudian jabatan yang mereka bangga – banggakan didepan
khalayak ramai. Saya kadang kasihan dengan orang tua mereka, anaknya sekolah tinggi – tinggi bukan berati mereka
semakin menghabiskan makanan orang lain.” Mata pak Jaka memandang gemericik air
yang jatuh ke tanah di pematang sawah
“Akan tetapi, menyalahkan orang tua saja nampaknya
tidak cukup pak Jaka” Manas mulai angkat bicara
“Semua orang tua menginginkan yang terbaik untuk
anaknya, semua anak ingin berbuat yang terbaik untuk anaknya. Orang tua tak
ingin anaknya menderita.” Manas menambahi.
“Sistem dinegara ini sudah bobrok pak, masyarakatnya
bobrok dalam memperlakukan Petani. Merek butuh beras, bukan butuh petani lokal.
Petani lokal selalu dibunuh oleh para pemilik modal kapitalis. Ketika musim
panen tiba, harga beras dibuat anjlok, karena beras panen dimana – mana, harga
beras dipermainkan dipasar oleh para tengkulak – tengkulat yang tidak pernah
merasakan jempol – jempol mereka diadu dengan tajamnya pacul. Merek tidak
merasakan panas matahari yang merambat panas ke punggung – punggung petani. Semua
obat – obatan memacu tanah untuk bisa memproduksi padi secara paksa dibuat
melambung tinggi ketika musim tanam tiba, ditanah agar pasokannya langka.”
Manas mulai meratapi nasib bapaknya yang malang.
“hehehehe,, ternyata sekolahmu ndak hanya dikelas ya
le. ya begitu, dilapangan juga” terkekeh – kekeh pak Jaka tertawa.
Pak Darsono diam nampak terbengong – bengong mendengar
obrolann anaknya dengan pak Jaka.
“Le, hal – hal diatas yang membuat pemerintah
akhirnya mengimpor beras dari luar negeri. Petani semakin sedikit, sawah –
sawah yang sudah menjadi beton, kebutuhan pangan yang meningkat karena
banyaknya perut yang harus di isi.
Dari masalah itu, pemerintah juga vakum, membiarkan
kesengsaraan petani. Peran anggota elit pemerintah tidak tampak disini nak Manas,
dari dulu para petani hanya diambil suaranya untuk kelanggengan jabatan mereka.
Petani selalu dijadikan korban – korban politik. Diadu sana sini.
Apalagi dulu ketika jaman PKI, berapa ratus ribu
petani yang dibunuh karena kepintaran oknum – oknum politik untuk kepetingan
politik. mereka hanya dipancing dengan hiburan – hiburan rakyat, dipancing
dengan janji – janji manis yang akhirnya para petani ini terbuai, dan tunduk
seperti dicocok hidungnya oleh para oknum itu untuk mengusik orang – orang yang bertentangan pemikiran
dengannya” pak Jaka tersenyum heran dengan kondisi ini
Pak Darsono pasif dan lebih memilih untuk
mendengarkan sambil menyulut rokok yang sudah diapit oleh giginya.
“permasalahan seperti ini seharusnya dianalisis
secara bersama – sama, kalau hal seperti ini dibiarkan, 10 – 30 tahun lagi,
bukan tidak mungkin, petani – petani di negara kita akan semakin habis, karena
mereka akan lebih menggantungkan hidup mereka di industri. Program – program pemerintah
untuk petani harus ditambah lagi, Kebijakan yang tadinya merugikan petani harus
dianalisis dan diganti kebijakan baru, pembangunan di lahan – lahan produktif
harus dihentikan. Negara kita negara maritim dan agraris, tanah kita tanah
surga walaupun itu Cuma katanya. Kamu bisa membayangkan betapa malunya kita
apabila sawah – sawah habis di negeri agraris, sibuk membangun lupa berkebun”
Pak Jaka memandang dengan optimis ke Manas.
“Kamu boleh menjadi pegawai, tapi kamu juga harus
bisa mengolah sawah dan ladangmu nak manas” Pak Jaka mengelus pundak Manas
“Pendidikan itu memang penting untuk kemajuan, tapi
kita tidak boleh lupa dari mana kita berasal” Pak Darsoni tertawa.
Di ikuti oleh pak Jaka dan Manas yang heran
mendengar kesimpulan yang dilontarkan oleh Pak Darsono.
Tak lama suara adzan dzuhur terdengar. Pertanda jam
makan siang telah tiba. Mereka beranjak mengemasi barang – barang mereka.
Meninggalkan sawah dan ladang yang terus beribadah kepada Tuhan untuk memenuhi
kebutuhan manusia.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus