By : Hayik Lana
Hadi sore petang itu
sedang duduk di teras rumahnya. Nampak angin semilir yang membelai dahan –
dahan pohon pinus di depan rumah, tak iya hiraukan. Kopi sudah tandas mengisi
lambungnya yang semakin asam. Lalu lalang kendaraan memuat hasil rempah –
rempah para petani desa tetangga yang asap pembuangan solarnya mencemari
kesejukan udara disekitar pun tak mempengaruhi konsentrasinya melihat gadget
yang ia genggam ditangan kanan. Terdengar dentuman lagu Black Dog – Led Zeppelin
mendampingi kesibukannya.
Matanya terus melihat
tajam komentar dilorong – lorong sosial media sebuah akun
yang menyebarkan berita dogma politik dan tatanan kehidupan sosial, yaitu
tentang adab dan perilaku manusia. Buku – buku bapaknya yang bekerja sebagai
pustakawan perpustakaan daerah tak pernah dia sentuh dan buka lembar demi
lembar. Hadi lebih suka untuk lebih banyak melihat, dan menyaring informasi
sebanyak – banyaknya dari sebuah sosial media.
Seperti tidak mau ketinggalan komentar dengan
yang lain, Hadi dengan segera memencet tombol – tombol alfabet di Hpnya. Nampak
jelas dia sedang berdebat tentang sebuah “persekusi” pada sebuah kampanye
politik. Seorang wanita dan anak – anak yang dibully karena berbeda pandangan
politiknya. Kemudian dia membuka akun sosial media yang lain, didalamnya tampak
membahas tentang sebuah tradisi hari besar agama. Sebuah tradisi yang oleh
sebagian orang didalam sosmed harus dilestarikan, disatu sisi mempermasalahkan
karena tradisi itu tidak ada dalam kitab keagamaannya.
Kutipan diatas adalah
sebuah gambaran ringan “yang katanya” manusia modern yang sudah berevolusi
Kognitif (revolusi tingkat berfikir), Agrikultur (revolusi hasil kebudayaan)
dan Saintifik (revolusi ilmu pengetahuan). Ketika tahap tersebut adalah tahap
manusia mencapai tatanan yang diimajinasikan menjadi “manusia modern”.
Coba kita lihat
bagaimana fenomena masyarakat yang “katanya” hidup pada masa modern seperti
sekarang. Sebagai manusia
Indonesia yang hidup disebuah negara yang bertumpu pada sektor agraris dan
maritim. Sebuah negara yang kaya akan sumber daya alam yang berlimpah, sebuah
negara yang mempunyai sumber daya muda yang berlimpah, sebuah negara yang
mengucurkan dana sebesar 416 Triliun Rupiah pada tahun 2017, dan 441 Triliun
Rupiah pada RAPBN 2018. Sebuah dana yang fantastis, bisa anda bayangkan dana
tersebut untuk membiayai kencan anda dengan pasangannya (Kompas, 17 Agustus
2017). Apa saja yang akan dilakukan pasangan itu?
Manusia modern
Indonesia yang bertumpu pada sosial media, selalu mengedepankan “kepintarannya”
untuk menyerang satu sama lain. Berbicara tentang tatanan – tatanan sosial yang
seolah – olah sebagian telah menganggap dirinya melakukan perbuatan sesempurna
mungkin, dan yang lain penuh dosa dan salah. Teori ini oleh kaum laki – laki dianggap
mirip sekali dengan sikap wanita ketika sedang Pra Menstruasi. eehhmmm...
Saling serang
satu dengan yang lainnya tersebut, seakan menjadi kultur baru didunia
per-sosmed-an di Indonesia. Tidak hanya dilakukan oleh sebagian orang – orang yang
menganggap dirinya rakyat, hal semacam itu dilakukan juga oleh sebagian orang
yang menganggap dirinya “wakil rakyat” bahkan mengatasnamakan “umat” atau “golongan”
tertentu.
Kita tidak bisa
memungkiri bahwa keributan di Indonesia akhir – akhir ini adalah membahas
tentang tatanan politik dan tatanan kehidupan sosial masyarakat.Sebuah situasi
yang tentunya sangat menguntungkan beberapa golongan dan merugikan golongan
lain. Akan tetapi, tidak pernah kita sadari bahwa kondisi seperti itu adalah
sebuah tatanan kemunduran bagi tingkat evolusi kehidupan manusia.
Publik tidak heran
apabila melihat petinggi – petingginya dipemerintahan saling menjatuhkan satu
sama lain. Si A mencari kesalahan si B dalam kehidupan sosial politik untuk
meningkatkan integritas si A dan menurunkan integritas si B melalui konsultan –
konsultan politik yang berlaga melalui akun – akun palsu di sosial media dengan
biaya ratusan sampai milyaran rupiah dalam satu bulannya.
Hal – hal semacam ini ramai
dilakukan didunia belahan barat dilakukan pada sekitar tahun 1500. Ketika di
Belahan bumi barat sedang getol untuk terus melakukan revolusi agrikultur, atau
sebuah revolusi untuk mengubah tatanan pola fikir dan tata krama masyarakat.
Para penguasa pramodern
di belahan bumi barat pada masa itu lebih suka memberikan uangnya untuk para
pendeta, filsuf dan penyair dengan harapan dapat melegitimasu kekuasaannya dan
mempertatanan sosial yang sebagian kelompok inginkan.
Pada masa itu, bangunan
disana masih berupa bangunan tanah liat lumpur dan jerami, jalan – jalan hanya
berupa tanah yang akan berdebu pada musim kemarau, berlumpur pada musim hujan.
Kebudayaan, ekonomi dan sosial di barat pada masa itu masih kalah tenar dengan
hegemoni kekuasaan Majapahit yang kekuasaannya hampir mencapai sebagian besar
Asia Tenggara.
Akan tetapi, pasca
Maggellan berlayar menempuh jarak 73.000 kilometer mengelilingi dunia tahun
1522 Masehi, belahan bumi barat mengalami perkembangan signifikan dan mulai
menguasai kekuasaan orang – orang belahan bumi timur. Abad ke 16, mulai terjadi
revolusi saintifik, yaitu revolusi pada bidang ilmu pengetahuan dan
menginventasikan sebagian besar dananya untuk riset – riset saintifik. 1674
Masehi mata manusia dapat melihat mikroorganisme yang diperkenalkan oleh Pak
Anton dalam bidang biologi, Anton van Leewenhoek dengan menggunakan mikroskop
ciptaannya berhasil melihat makhluk bersel tunggal yang penting dalam diri
manusia, mereka juga makhluk yang mematikan bagi manusia.
5 abad terakhir manusia
belahan bumi barat semakin percaya pada investasi di riset – riset saintifik.
Mereka mempercayai ketika para leluhur mereka sudah cukup mengerahkan tenaga
dan waktu untuk menemukan aturan – aturan yang mengatur tentang alam, Tradisi –
tradisi pengetahuan dan aturan – aturan seperti islam, kristen Buddhisme dan
Konfusiasme menegaskan bahwa segala hal yang penting untuk diketahui tentang
aturan dunia sudah diketahui (Sapien, Hal. 298)
Orang – orang modern
percaya bahwa biasa mendapat pengetahuan – pengetahuan masa lalu dengan
membaca, menggali naskah, dan tradisi kuno dengan membuka kitab – kitab suci
dan tradisi – tradisi lisan.
Revolusi Saintifik
manusia modern membuat mereka lapar akan penemuan - penemuan baru disegala bidang, bukan
keributan – keributan baru disegala bidang. Kesediaan untuk selalu merasa bodoh
dan kurang ilmu pengetahuan. Manusia modern bersedia mengakui ketidaktahuan membuat
sains modern menjadi dinamis, lebih lentur dan lebih aktif mencari daripada tradisi
pengetahuan mana pun sebelumnya.
Tidak menjadi sebuah
keheranan apa bila negara ini terus – terusan menjadi sebuah negara yang
konsumtif. Ketika dibelahan bumi lain sudah dapat menyembuhkan berbagai
penyakit ganas, bangsa kita masih banyak yang meninggal karena belom bisa
menangani penyakit – penyakit ganas yang menyerang penduduk Indonesia. Ketika
kita dengan nyamannya memamerkan gadged terbaru buatan cina, iphone terbaru
keluaran Amerika, yang kita gunakan untuk saling menjatuhkan satu sama lain
disosial media.
Bangsa ini mengalami
kemunduran kultur yang luar biasa, ketika negara – negara lain masih merasa
bodoh dan berlomba dalam revolusi saintifik untuk memproduksi pengetahuan –
pengetahuan baru, dan kemajuan dalam segala bidang. Bangsa kita masih berkutat
dalam revolusi agrikultur dan revolusi kognitif.
Sebuah revolusi yang
seharusnya sudah sejak lama dilakukan, kita masih saja berkutat untuk terus
meributkan dogma – dogma yang diambil dari sosial media dan diributkan dengan
manusia Indonsia lainnya. Kita akan menjadi manusia “maha tahu”, setelah kita
sudah mendengar ceramah dan dogma – dogma di sosial media, dan menjatuhkan
manusia lainnya.
Sebagai manusia, apakah
kita akan pantas menyandang sebagai manusia modern apabila perubahan –
perubahan dalam diri kita tidak pernah terjadi, malah mengalami kemunduran.
Seperti kisah Hadi
diatas, ketika buku – buku bertumpuk milik bapaknya tidak pernah dia buka, dan
dia lebih suka untuk mencari tahu dan mengkiblatkan matanya di sosial media.
Akan tertinggal seperti apa negara ini dengan negara lain di tahun – tahun mendatang?
Lagu John Lennon – Imagine menutup kegiatan Hadi
sore itu, sebagai sebuah gambaran manusia yang mengimajinasikan perubahan
tatanan sosial yang berkiblat pada sosial media.
Imagine
there's no heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today...
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today...
Imagine
there's no countries
It isnt hard to do
Nothing to kill or die for
No religion too
Imagine all the people
Living life in peace...
It isnt hard to do
Nothing to kill or die for
No religion too
Imagine all the people
Living life in peace...
ajibb pak
BalasHapusajibb pak
BalasHapusDududu syalalala👍👍
BalasHapus