Langsung ke konten utama

demokrasi "bercinta" ala Garudeya


By : Hayik Lana


Di sekitar Asia Tenggara, 53 tahun lalu sekitar tahun 1965 berdirilah sebuah kerajaan Garudeya. Sebuah kerajaan  yang luas lautannya lebih luas dari daratannya. Garudeya didirikan oleh sekelompok orang yang sebelumnya tertindas oleh negeri atas angina. Kerajaan ini dimerdekakan setelah Kusno dan Mohammad Athar dkk. setelah keduanya secara simbolis memproklamirkan kemerdekaan Kerajaan Garudeya. Keduanya kemudian dipercaya oleh kawan – kawan seperjuangannya untuk menjadi Raja dan Wakil raja.

Garudeya adalah sebuah kerajaan yang memiliki beberapa wilayah, dan jumlah penduduknya terbesar nomor  2 di dunia maya pada saat ini. Suku bangsa dalam kerajaan Garudeya sangat beragam. Mulai dari orang Bangbang kulon, Bangbang Tengah, Bangbang Wetan, orang Borneo, orang Kaukasoid dan beribu suku lainnya masuk kedalam wilayah kerajaan Garudeya. Garudeya ber-ibu kota di Kelakarta, sebuah wilayah yang menjadi barometer politik Kerajaan Garudeya, setelah wilayah Bangbang Wetan.

Ada 2 kepercayaan besar pada kerajaan itu, yang pertama kepercayaan Hyang yang kedua kepercayaan Maha. Keduanya tumbuh menjadi kepercayaan mayoritas di Garudeya. Selain dua kepercayaan itu, banyak sekali kepercayaan lokal yang masih dianut oleh penduduk kerajaan Garudeya, seperti, ajaran budi, Nou, Nirvana, dll. Berbagai kepercayaan di Kerajaan Garudeya itu berpusat pada pemehaman intisari, tidak berpusat pada kulitnya saja. Istilah Surga dan Neraka tidak mereka kenal, patokan mereka adalah bahwa hidup adalah sebagai karma. Ibadah menjadi kewajiban, gampangnya ketika mereka sudah diberi kesehatan dalam bernafas dan beraktifitas mereka dengan senang hati  akan “mengangsur” kepada Tuhan mereka, bahwa mereka hidup didunia hanya menunggu. Semua aktifitas hidup ditekankan pada “menunggu”. Mereka ke sawah, untuk menunggu datangnya waktu beribadah, mereka ke pasar menunggu datangnya ibadah. Kitab, adalah sebagai properti. Properti yang menuntun mereka untuk menuju titik “pusat”, yaitu ketika hawa nafsu dalam diri mereka sudah hilang.

Kerajaan Garudeya dijuluki sebagai kerajaan yang gemah ripah loh jinawi. Bisa dibayangkan, kaum gelandangan, anak yatim piatu dan janda – janda yang ditinggal mati suaminya mendapat pendidikan dan pelatihan gratis untuk bisa masuk menjadi pegawai atau buruh – buruh pabrik. Semua karyawan dan buruh pabrik Garudeya tidak dari golongan yang mampu dan berstatus social tinggi. Orang – orang berstatus social tinggi dan tenaga – tenaga yang fresh lebih memilih terjun menjadi pengusaha dan para petani dan nelayan.

Tidak banyak pemuda – pemudi di Garudeya yang bercita – cita menjadi aparatur kerajaan. bekerja sebagai aparatur pekerjaan, sangat membebani devisa kerajaan yang lebih berguna bila digunakan untuk menyantuni orang – orang yang berada dibawah garis kepemimpinan. Para pensiunan aparatur negara pun menolak gaji pensiunan, para pensiunan aparatur kerajaan pernah berdemo kepada Raja bahwa orang-orang pensiun yang digaji, akan menimbulkan contoh yang tidak bagus bagi anak cucu mereka sebagai orang yang konsumtif. Maka, negara merespon dengan memberikan pelatihan – pelatihan khusus bagi pensiunan aparatur kerajaan untuk bisa berwirausaha dan tetap menghasilkan uang diusia senja mereka. Berbicara tentang rendahnya minat menjadi aparatur kerajaan di Garudeya, karena kerajaan ini tentram dan tidak banyak birokrasi yang meribetkan seperti negara tetangga mereka. Semua birokrasi cukup bisa diurus dari jari – jari mereka walaupun mereka dirumah. Tidak ada istilah dunia selebar daun kelor disana, mereka lebih dekat dengan istilah dunia seluas layar HP, karena semua urusan yang berhubungan dengan birokrasi, cukup diurus dengan media digital. Keribetan semacam “sogok sana sogok sini”, tidak dijumpai di Garudeya karena semua penduduknya lebih suka bekerja keras dan tidak menjadi penjilat satu sama lain.

Berbicara tentang penjilat, di Garudeya istilah ini lebih dekat dengan menghabiskan seluruh dana kerajaan untuk kesejahteraan rakyatnya. Kesejahteraan selalu diperhatikan oleh raja – raja dan jajaran birokrasi Garudeya. Walaupun kondisi politik yang selalu memanas karena adanya kepentingan – kepentingan politik, akan tetapi semua orang yang terjun dalam politik selalu memegang teguh politik identitas, bahwa semua kepentingan politik adalah untuk kepentingan bangsa dan kerajaan, tidak hanya untuk kepentingan ras, agama dan suku tertentu atau yang disebut identitas politik.
Kaum jomblo dan kekasih yang terlantar, juga mendapat bantuan dari pemerintah kerajaan. Bagi kekasih yang telantar, diberikan pelatihan – pelatihan khusus yang bisa membuat segera move on. Bagi kaum Jomblo, negara menjamin bantuan khusus berupa tunjangan tuna asmara untuk mendekati calon pasangannya sampai kaum jomblo mendapat pasangan.

Pekerjaan yang paling banyak digeluti di Kerajaan Garudeya adalah Petani dan Nelayan, karena kedua profesi tersebut membuat rakyat Garudeya dekat dengan alam, dan alam dijadikan tempat praktek mereka untuk menerapkan apa yang diajarkan oleh kitab – kitab agama mereka. Pekerjaan – pekerjaan di Garudeya sejauh mungkin menjauhi istilah korupsi, karena korupsi adalah penghinaan kitab suci mereka. Dengan dekat dengan alam, membuat mereka lebih religius dan cinta kepada tanah  air. Ya, karena petani selalu identik dengan tanah, dan nelayan lebih identik dengan air.

Kerajaan Garudeya adalah sebuah kerajaan yang unik. Dikatakan unik karena kerajaan ini menganut asas demokrasi yang pemilihan rajanya melalui tahapan tatanan demokrasi, yaitu melalui pemilu.
Pemilu di Garudeya benar – benar menjadi sebuah pesta rakyat yang ditunggu – tunggu. Tidak mengenal istilah money politik ataupun nego sana nego sini. Orang – orang Garudeya mempunyai pikiran hampir sama dengan tetangga jauh mereka Republik #Jancuker – nya Sudjiwotedjo. Mereka memandang pemerintah adalah bukan tukang perintah. Istilah pemerintah di Garudeya diartikan sebagai pengurus, karena instansi disana lebih suka mengurus sesuatu dari pada memerintah sesuatu. Jadi tentunya pahamkan, bedanya memerintah dengan mengurus?

Sekali lagi, berbeda sekali dengan tetangga mereka Negeri Rempah – Rempah. Di Negeri Rempah - Rempah Goverment adalah sebagai pemerintah dan pengurus. Biasa diplesetkan oleh rakyat mereka menjadi “tukang perintah” dan “tukang bikin kurus”. Ya, sebagian besar devisa mereka habis untuk menggaji aparatur negara mereka yang kerjaaannya hanya memerintah, mengurusi urusan orang lain, dan tentunya membuat kurus rakyat mereka. eehhmmm

Kampanye pemilu di Garudeya berlangsung lebih dari setahun. Dengan syarat utama adalah, bahwa “calon pengurus” yang maju menjadi kepala daerah, harus mencantumkan surat keterangan izin dari ibu kandung mereka. Nah, apabila ibu mereka sudah meninggal, bisa dari ibu mertua, atau ibunya arek – arek. Yang jelas adalah syaratnya hanya restu dari Ibu.

Para calon pengurus mereka biasanya memanfaatkan hari besar agama untuk kampanye dengan cara Door to door Campaigne, dengan memanfaatkan moment lebaran, mereka datang kerumah – rumah penduduk untuk meminta maaf. Tidak seperti di Negeri Rempah – Rempah, para pemimpin mereka lebih suka open house untuk bermaaf – maafan dengan rakyat mereka. Di Garudeya, para “pengurus” mereka, malah datang kerumah – rumah untuk meminta maaf. Para Pengurus berpendapat mereka lebih banyak salah ketika aspirasi rakyat Garudeya belum sepenuhnya terpenuhi. Jadi istilah Open House lebih dijumpai pada rakyat – rakyat kecil menengah kebawah.

Menurut orang – orang Garudeya, politik itu ibarat berhubungan intim dengan pasangan sah mereka. Ketika sang “pengurus” puas, rakyat sebagai bos mereka juga harus puas. Tidak banyak perdebatan karena semua merasa politik di kerajaan Garudeya sangat “saling memuaskan”.

Berbicara tentang perdebatan, debat – debat publik ketika kampanye berlangsung ditempat – tempat umum seperti di pasar, terminal, tempat wisata, alun – alun, halt – halte bus, jalan – jalan yang mulai berlubang. Tidak ada istilah debat politik dilaksanakan didalam gedung tertutup dan ber AC seperti Negara Rempah – Rempah. Semua pertanyaan langsung diberikan oleh rakyat Garudeya kepada calon “pengurus” mereka. Pertanyaan – pertanyaan tidak bersifat meluas, tapi dimulai dari masalah – masalah kecil yang timbul ditempat umum. berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang dianggap kurang berkembang pembangunannya.  

Konstelasi politik di Garudeya sangat dewasa. Konsultan – konsultan politik menggunakan tenaga – tenaga muda untuk melakukan kampanye untuk lebih membuat kampanye – kampanye lebih kreatif. Cara yang bermartabat dan sopan dalam debat publik dan pengenalan program sangat dijunjung oleh para calon “pengurus” daerah.

Orang Garudeya 90% sangat melek  sosial media, akan tetapi kampanye tidak pernah dilakukan melalui media sosial. Para “Calon Pengurus” berpendapat bahwa bahasa disosial media itu sangat terbatas, sehingga akan menimbulkan ambiguitas bagi para pembacanya.

Partai – partai politik di Garudeya, tidak mempunyai kantor yang megah dan mewah. Kantor – kantor mereka banyak berada di ruko, itupun menyewa tahunan. Partai politik disana tidak sekaya di Negeri Rempah – Rempah. Koalisi besar dalam pemilu tidak mengerucut pada partai akan tetapi lebih memilih kepada calon. Rakyat Garudeya tidak memandang partai politiknya, akan tetapi lebih kepada Calonnya. Hal itu menunjukkan tingginya tingkat melek politik kerajaan itu.

Black Campaigne dan Negatif Campaigne yang sangat marak di Negara Rempah – Rempah, berbanding terbalik dengan yang ada di Garudeya. Black Campaigne – Negatif Campaigne sangat dihindari, karena dengan adanya kedua sistem kampanye itu bisa merusak kestabilan rumah tangga sesorang. Bisa kita bayangkan, ketika suami istri mempunyai perbedaan dalam memilih “pengurus” mereka, para calon “pengurus” mereka sudah berfikir bahwa cara – cara seperti itu akan membuat “malam jumat” pasangan itu akan terganggu.

Ketika pengurus terpilih akan dilantik, pelantikan “pengurus” tidak dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi dilantik oleh Ibu. Kenapa dipilih Ibu “calon pengurus”, karena pertama, Surga ada ditelapak kaki ibu sehingga ibu menjadi sosok yang pusat dalam kebijakan restu – merestui. Kedua, ibu adalah orang yang paling berjasa di Kerajaan Garudeya untuk melahirkan calon – calon “pengurus” yang dapat menjalankan amanat rakyat Garudeya dengan tulus ikhlas.  
heuuuuu sejauh itu........

Komentar

  1. Sebagai teman , lanjutkan !!!
    Sebagai penyukabaca, membaca cerita ini , mengutarakan uneg2 harapan impian akan negara nya yg di simbol kan dg "negara tetangga" terbaca dg jelas. Sering nya penulis mengambarkan negara garudeya dg gambaran pembanding "negara tetangga" semakin mengentarakan niat penulis dalam mengandaikan "negara tetangga" seperti garudeya.

    BalasHapus
  2. Wah, ga asyik blas di kerajaan Garudeya. Ga ada orang-orang kaya Padli John & Pahri Hamjah..😁

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Larung Sesaji di Telaga Ngebel Ponorogo

Kebudayaan merupakan sebuah kebiasaaan nenek moyang yang dilakukan manusia dalam lingkup sosial tertentu.   Salah satunya kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia ialah larung sesaji.   Larung sesaji itu sendiri merupakan menghanyutkan persembahan berupa makanan atau benda lain dalam upacara keagamaan yang dilakukan secara simbiolis. Larung sesaji terdapat di berbagai daerah salah satunya   yaitu berada di Ponorogo.   Ponorogo merupakan salah   satu kabupaten di Jawa Timur yang memiliki berbagai budaya yang tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya.   Pada setiap tahun baru Islam atau Sura, Kabupaten Ponorogo mengadakan suatu rangkaian acara berupa   Grebeg Sura.   Dalam acara tahunan ini   ditampilkan berbagai macam seni dan tradisi seperti Festival Reog Mini, Festival Nasional Reog Ponorogo, bedhol pusaka, kirab pusaka dan yang terakir yaitu upacara larung sesaji yang dilaksanakan di Telaga Ngebel.   Upacara la...

Jathil Obyog

  Kesenian Reyog terbagi atas dua bentuk yaitu reyog display dan reyog play. Reyog Display atau biasanya disebut Reyog Festival yang ditampilkan dalam event – event tertentu misal dalam Festival Reyog Nasional yang diadakan setahun sekali. Sedangkan Reyog Play adalah sebutan bagi Reyog Obyog. Dikatakan obyog karena dalam pementasannya tidak selalu berada dipanggung, penari turun secara langsung dan berbaur dengan penonton. Keistimewaan dari obyog adalah penonton boleh ikut berbaur dalam pertunjukkan dan ikut menari dalam pertunjukan tersebut. Selain itu, kesenian reyog obyog bisa dipentaskan dalam berbagai acara, misalnya hajatan, khitanan, rapat terbuka dll. Kesenian ini memiliki sifat gembira dan dinamis karena reyog obyog adalah sebuah tarian rakyat   dimana penonton boleh ikut menari bersama dengan pemain reyog obyog. Terdapat perbedaan yang mendasar pada unsur penari antara reyog festival dan reyog obyog. Unsur – unsur dalam reyog festival terdiri dari : Kelono ...

Alam “properti” ber-Tuhan

By : Hayik Lana M  Pertanian merupakan bagian dari kehidupan manusia. Petanian adalah salah satu tindakan dari sekian banyak tindakan lain untuk memanfaatkan potensi dari alam. Pertanian mulai muncul ketika masyarakat mampu menjaga ketersediaan pangan bagi diri sendiri dan kelompok. Manusia sebelumnya mengandalkan alam untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Kebutuhan manusia semakin meningkat dan alam sudah tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan pangan, akhirnya manusia yang terdesak kebutuhannya mulai menetap dan bertani. Tinggal menetap dan bertani tersebut berdampak pada kemunculan peradaban-peradaban dunia   Gambar : Perusahaan membakar hutan di Gala-Gala, Tapanuli, 1933. Foto: KITL Marsden mendapati pada April-Mei, jelang musim kemarau, petani telah memilih dan menandai hutan untuk ladangnya. Masyarakat memilih cara cepat meratakan pohon-pohon besar di hutan dengan memercikan api dari dua flint yang diadu. “Api bisa be...