Alogaritma
adalah seperangkat langkah metodis yang bisa digunakan untuk melakukan
kalkulasi, pemecahan masalah dan mencapai keputusan-keputusan (Yuval Noah
Harari, 2018:96). Sebagai manusia yang menjalani kehidupan sehari-hari, kita
tidak bisa lepas dari rumus alogaritma.
Misalnya,
ketika anda menggoreng masakan, anda akan melalui beberapa tahapan. Dimulai
dari memanaskan minyak pada wajan, memasukkan bahan masakan dalam minyak panas,
menunggu masakan berubah tekstur dan warna hingga ketahap yang anda inginkan. Tahap
yang anda lewati adalah sebuah tahap alogaritma. Menggoreng berbagai masakan
menggunakan bahan yang berbedapun anda akan tetap melewati satu tahapan yang sama.
Atau
ketika anda akan memakai sepatu dengan kaos kaki, hal yang anda lakukan pertama
kali adalah memasang kaos kaki anda kemudian setelah itu anda akan memasukkan
kaki anda kedalam sepatu. Serumit apapun anda memasang sepatu anda, tak diragukan lagi
anda akan tetapi masih sebuah alogaritma.
Alogaritma
yang mengendalikan manusia bekerja dengan sensasi emosi dan pikiran. 99%
keputusan kita-termasuk pilihan kehidupan yang paling penting yang berkaitan
dengan pasangan, karir, dan habitat-dibuat dengan alogaritma-alogaritma yang
disaring dengan teliti yang kita sebut sensasi, dan hasrat (Daniel Kahneman, 2011).
Seluruh
jaringan tubuh manusia adalah kalkulator untuk mengkalkulasi emosi dan fikiran.
Seperti halnya sebuah sistem politik, secara etimologis adalah dari bahasa
Yunani, yaitu “Polis” yang artinya adalah Negara Kota. Politik tidak bisa lepas
dari kehidupan manusia yang akan tercatat sebagai peristiwa sejarah. Menurut Prof.
Miriam Budiarjo, mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Indonesia 1974-1979, mengartikan politik Politik adalah bermacam-macam kegiatan
yang menyangkut penentuan tujuan-tujuan dan pelaksanaan tujuan itu. Menurutnya
politik membuat konsep-konsep pokok tentang negara, kekuasaan, pengambilan
keputusan, kebijaksanaan, dan pembagian atau alokasi.
Tahun 2019, Indonesia memasuki tahun
politik. Pemilihan Legislatif
(Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 akan digelar serentak pada 17
April 2019. Kampanye politik mulai dilakukan oleh calon Legislatif dan calon Presiden.
Sebelum ketahap itu, kampanye calon anggota DPR, DPD, dan DPRD serta
pasangan calon presiden dan wakil presiden pada
tanggal 23
September 2018-13 April 2019.
Tahapan kampanye yang dilakukan oleh
para pelaku politik adalah proses dalam merekrut masa mempunyai rumus yang sama,
yaitu dengan cara alogaritma. Indonesia menganut sistem Demokrasi
langsung atau yang dikenal dengan direct democracy di dalam bahasa
Inggris. Demokrasi langsung merupakan sebuah demokrasi yang mengikutsertakan
rakyat mengenai penentuan dan juga pemilihan keputusan tertentu kepada suatu
Negara. Misalnya saja adalah dengan adanya pemilu atau pemilihan umum.
Pengertian demokrasi diatas
mengartikan rakyat sebagai pusat dari demokrasi, yang “dimanfaatkan” oleh para
calon wakil rakyat terpilih untuk menentukan kebijakan dalam sebuah
pemerintahan yang nantinya akan digunakan untuk mengatur rakyat. Sebuah konsep
yang berputar-putar sebagai sebuah system.
Lalu bagaimana para calon wakil rakyat
tersebut menerapkan konsep alogaritma dalam politik?
Pada tahap pertama, para calon wakil
rakyat yang nantinya duduk sebagai “raja” bagi raja sebenarnya yaitu rakyat
akan mengangkat isu-isu ketakutan atau keresahan dalam masyarakat. Seperti naiknya
harga sembako, tarif dasar listrik yang semakin mencekik dompet dan hutang
negara yang terus bertambah. Atau dengan cara menampilkan keberhasilan –
keberhasilan pembangunan sebagai dasar untuk pencitraan diri.
Pada
tahap ini, para calon wakil rakyat akan menggunakan teori gosip, yang pada era modern
sekarang disampaikan dengan social media, koran (media massa), poster atau dengan media lainnya yang
dapat dijumpai rakyat dengan mudah ditempat-tempat umum. Dari pendapat atau isu
yang diangkat yang disampaikan menggunakan teori gosip, akan timbul pemikiran
dalam masyarakat yang kebenarannya bisa mendekati kebenaran atau kebenarannya
hanya sebuah opini yang subyektif yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Dengan teori gosip, masyarakat diharapkan akan mengalami keresahan, atau
kebanggaan yang bertambah pada calon wakil rakyat yang nanti akan dipercayai.
Tahap kedua, adalah penyatuan opini masyarakat
dengan pendapat yang dinyatakan oleh golongan yang mengangkat ketakutan, keresahan
atau kebanggaan dalam masyarakat. Pada tahap ini, akan dimunculkan data-data
pendukung untuk meyakinkan rakyat atau calon pemilih untuk mempercayai teori
gosip yang telah ditimbulkan pada tahap pertama melalui berkomentar dengan
dasar ketakutan, keresahan atau kebanggan yang telah timbul dalam masyarakat.
Tahap ketiga, adalah tahap membawa
masyarakat dalam imajinasi yang dijanjikan dalam bentuk visi dan misi calon
wakil rakyat. Dasar berpijak visi dan misi adalah keresahan, ketakutan dan
kebanggan rakyat. Dengan visi dan misi, masyarakat akan berimajinasi
terbentuknya tatanan - tatanan pemerintahan yang baru oleh pemimpin yang baru
atau melanjutkan pembangunan yang sudah dilakukan oleh wakil rakyat sebelumnya.
Visi dan misi akan mengikat rakyat pada tingkat kepercayaan untuk menentukan
pilihan.
Tahap terakhir adalah tahap panen,
panen akan terjadi setelah proses pemilihan umum terlaksana. Akan terlihat
bagaimana keberhasilan calon wakil rakyat untuk menggiring dan mengimajinasi
rakyat supaya masuk ke dalam imajinasi yang dijanjikan oleh calon wakil rakyat.
Pemenang pada tahap ini adalah yang dapat menggaet massa yang paling banyak.
Pada tahap pertama dan kedua, dengan
teori gosip yang berdasar pada keresahan, ketakutan dan kebanggaan yang
ditimbulkan oleh calon wakil rakyat, kalkulator alogaritma rakyat akan membuat rakyat
meneliti siapa tokoh yang nantinya akan dipercayai untuk dipilih pada proses
pemilihan umum. Tahap ketiga akan membuat rakyat mempercayai visi misi calon wakil
rakyat dan rakyat akan berhasrat akan menentukan kepercayaan pada pemilu nanti.
Setelah terpilihnya wakil rakyat,
akan timbul sensasi baru dimasyarakat. Sensasi itu akan timbul setelah rakyat
akan merasakan dampak visi dan misi, apakah visi – misi hanya sekedar imajinasi
yang hanya sebatas janji atau sebagai visi misi yang benar-benar dilaksanakan.
Sebagai pemilih yang cerdas, seharusnya
kita tidak hanya fokus visi – misi atau figur dari calon wakil rakyat, kita seharusnya
juga fokus pada system yang nantinya akan dijalankan oleh orang-orang yang berdiri
dibalik figur yang terpilih. Ilmu alogaritma seharusnya juga digunakan oleh rakyat
untuk menganalisa bagaimana hasil dari pemilu – pemilu sebelumnya atau system yang
berjalan setelah proses pemilu sebelumnya dengan penayaringan isu, atau opini
yang diangkat oleh calon wakil rakyat, apakah opini yang berdasar ketakutan itu
bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Ilmu
alogaritma akan membawa rakyat sebagai masyarakat yang kritis dalam menentukan
calon wakil rakyatnya, dengan teliti melihat bagaimana riwayat atau sejarah
dari figur yang mencalonkan diri ketika hidup dalam system dimasyarakat. Tentunya
sebagai rakyat Indonesia kita sadar bahwa system alogaritma yang berjalan pada pemerintah
hanya dihuni oleh orang-orang itu saja. Hal yang membedakan dari pemilu
sebelumnya biasanya didominasi dari partai pengusung atau pasangan calon
presiden dan wakil presiden yang berbeda karena adanya perpindahan atau
pergantian posisi figur calon rakyat.
Rumus alogaritma kehidupan dalam
bernegara tidak akan membuat system pemerintahan yang berjalan akan menjadi
baik atau sebaliknya karena system yang berjalan akan ditentukan oleh wakil
rakyat yang terpilih. Akan tetapi akan membuat rakyat semakin melek politik, bahwa
kehidupan rakyat Indonesia hampir selalu diributkan dengan politik identitas,
yang berdampak pada terkotak-kotaknya opini masyarakat pada calon pemimpin dan
menyeret masyarakat pada konflik – konflik imajinasi yang dijanjikan oleh calon
wakil rakyat. Dan naifnya, rakyat hampir selalu terbuai janji 5 tahunan yang
pada faktanya visi dan misi sebagian besar hanya sebuah imajinasi atau
cita-cita yang bertujuan menarik perhatian massa untuk memenangkan kepentingan
golongan tertentu.
Sebagai calon pemerintah yang
terpilih seharusnya menganggap hubungan rakyat dan pemerintah itu bagaikan hubungan
ibu dan anak, karena rakyat tidak bisa hidup dengan hanya terpenuhi sifat –
sifat materielnya, akan tetapi rakyat juga membutuhkan ikatan emosional dengan wakil
rakyat yang dipilihnya yaitu dengan menjalankan pemilu dan memerintah secara
baik menurut tatanan undang-undang yang berlaku, dimulai dari system kampanyenya
sampai caranya nanti ketika memerintah sesuai imajinasi yang mereka bawa denganbaik,
karena memang kita ini adalah bagian dari ekosistem alam yang selalu hidup
dengan alogaritma.
Hayik
Lana M.
Pertamax
BalasHapustumben serius... mantab jiwa
BalasHapus