By : Hayik Lana M
Ideologi merupakan jaringan kerjasama massal yang menggunakan tatanan yang diimajinasikan berfungsi untuk mengikat komunitas manusia dengan menggunakan aksara-aksara. (harari, 2019;154). Ideologi atau tatanan yang diimajinasikan menjadi dasar negara diciptakan oleh golongan didalam komunitas sosial yang mempunyai pengaruh yang luas. Ideologi dibangun atas "mitos sejarah" yang pernah dilalui oleh komunitas sosial, seperti pancasila sebagai ideologi Indonesia dibangun karena adanya penjajahan kolonial Belanda di bumi Nusantara. Mitos sejarah tersebut mampu mengikat manusia dengan ketakutan-ketakutan yang terjadi dimasa lalu. Agar ketakutan-ketakutan masu lalu tersebut tidak muncul kembali, maka digunakanlah tatanan imajinasi berupa ideologi agar ketakutan dimasa lalu tidak kembali terulang dimasa depan. Mitos Sejarah yang mengikat, akan mempermudah pemimpin kelompok komunitas sosial membawa komunitas tersebut keranah "kepentingan" yang dikehendaki sesuai dengan tatanan imajinasi yang dijanjikan.
Ideologi merupakan jaringan kerjasama massal yang menggunakan tatanan yang diimajinasikan berfungsi untuk mengikat komunitas manusia dengan menggunakan aksara-aksara. (harari, 2019;154). Ideologi atau tatanan yang diimajinasikan menjadi dasar negara diciptakan oleh golongan didalam komunitas sosial yang mempunyai pengaruh yang luas. Ideologi dibangun atas "mitos sejarah" yang pernah dilalui oleh komunitas sosial, seperti pancasila sebagai ideologi Indonesia dibangun karena adanya penjajahan kolonial Belanda di bumi Nusantara. Mitos sejarah tersebut mampu mengikat manusia dengan ketakutan-ketakutan yang terjadi dimasa lalu. Agar ketakutan-ketakutan masu lalu tersebut tidak muncul kembali, maka digunakanlah tatanan imajinasi berupa ideologi agar ketakutan dimasa lalu tidak kembali terulang dimasa depan. Mitos Sejarah yang mengikat, akan mempermudah pemimpin kelompok komunitas sosial membawa komunitas tersebut keranah "kepentingan" yang dikehendaki sesuai dengan tatanan imajinasi yang dijanjikan.
Tatanan imajinasi yang dibuat oleh Penjajahan Belanda dan Jepang telah mengurung bangsa Indonesia untuk bebas. Pada masa pemerintahan Belanda, kebebasan berpolitik, berpendapat dan berfikir dibatasi. Bangsa Indonesia terkungkung dalam tatanan yang diimajinasikan penjajah Kolonial Belanda. Belanda membuat stratifikasi sosial untuk melanggengkan hegemoni kekuasaan mereka di Indonesia dengan menggunakan birokrasi untuk menjalankan sistem penjajahan. Pejabat bumiputera diajak untuk berkoloni dan menghasilkan simbiosis mutualisme. Selain itu, pemerintah kolonial Belanda melakukan pemisahan strata sosial berdasarkan ras. Orang menduduki strata paling atas dan mendapat hak-hak istimewa, melebihi kaum bangsawan dan rakyat jelata pribumi. Salah satu pemisahan yang terlihat adalah dibidang pendidikan, dikutip dari tulisan artikel museum pendidikan nasional, pendidikan di Indonesia pada masa Kolonial Belanda dibedakan untuk penduduk pribumi, anak Belanda dan Tionghoa berdasarkna bahasa pengantar pendidikan disekolah. Kebijakan ini berhasil menuntun para kaum terpelajar Bumiputera mengikuti sistem yang diberlakukan oleh Belanda. Kaum terpelajar Bumiputera yang lulus sekolah, mendapat jabatan pada birokrasi pemerintahan Belanda. Akan tetapi jabatan pada birokrasi juga dibatasi sampai jajaran Bupati ke bawah.
Ketika Indonesia merdeka atas penjajahan Belanda dan Jepang, membawa kebebasan bagi masyarakat Indonesia untuk menentukan sendiri kemana arah yang dituju sesuai tatanan imajinasi yang telah dibuat. Seiringin terbebasnya masyarakat Indonesia dari belenggu penjajahan yang mengurung bangsa Indonesia, membuat masyarakat Indonesia tumbuh dan berkembang. Akan tetapi politik generalisasi yang diterapkan secara supresif dan diskriminatif pada masa Kolonial Belanda masih membudaya dalam masyarakat Indonesia yang sudah merdeka (tirto.id, Melayu, Islam dan politisasi Pribumi). Politik generalisasi menciptakan golongan-golongan didalam komunitas sosial dan salah satunya memunculkan sifat egoisme golongan. Sehingga pada masa kemerdekaan Indonesia, budaya generalisasi ini kembali muncul seiring dengan kebebasan yang telah dicapai pada masa kemerdekaan.
Kebebasan dari penjajahan membawa dampak munculnya hyper egoisme pada persatuan Indonesia dengan munculnya golongan-golongan untuk membawa ranah imajinasi baru yang terkadang bertentangan dengan imajinasi yang telah diciptakan sebelumnya. Golongan-golongan tersebut muncul karena adanya perbedaan dalam menikmati hak-hak istimewa. Contohnya seperti Gerakan Aceh Merdeka atau Organisasi Papua Merdeka yang muncul karena kesenjangan ekonomi pada masa orde baru, Atau ketika pemberontakan PRRI-Permesta yang berdalih pada ketidakadilan dalam pembentukan Resimen Infateri 4 TT I BB, dan ketidakpuasan alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat (Ariel Heryanto, Identitas dan Kenikmatan). Karena munculnya kebebasan, maka kelompok PRRI-Permesta membawa permasalahan tersebut menjadi dalih untuk memisahkan diri dari tatanan imajinasi yang dibuat Indonesia, dan berusaha memberontak dan membuat tatanan imajinasi baru. Sehingga pemerintah Indonesia perlu menyelesaikan permasalahan ini dengan moncong senjata, karena kelompok PRRI-Permesta tidak lagi satu ikatan dalam ranah imajinasi yang pemerintah Indonesia bangun.
Sifat hyper egoisme telah membuat perpecahan pada persatuan Indonesia. Ketidakcocokan berbagai kekuatan sosial yang membentuk Indonesia akhirnya membentuk persekutuan-persekutuan demi kepentingan bersama jangka pendek dalam rangka menghajar rezim lama yang dianggap sebagai musuh bersama dalam kelompok persekutuan itu (Ariel Heryanto, Identitas dan kenikmatan halaman 5). Akan tetapi, masalah ideologi Pancasila sudah selesai setelah Indonesia terbentuk. Kelompok-kelompok persekutuan yang muncul tersebut membawa kepentingan-kepentingan sendiri yang dapat mengurangi persatuan dan kesatuan Indonesia. Apabila hal ini terus dibiarkan akan mengganggu tataran imajinasi yang akan dituju oleh bangsa Indonesia. Contohnya seperti politik Identitas yang muncul karena egosime golongan menjelang Pemilu Presiden 2019. Politik Identitas telah membelah Indonesia menjadi dua bagian, yaitu pendukung 01 dan 02. Dengan kebebasan demokrasi yang mereka miliki, mereka menganggap dukungan mereka akan membuat Indonesia lebih baik. Tapi pada perjalanannya, dukungan mereka yang berlebihan akan menimbulkan fanatisme yang berlebihan dan semakin menunjukkan corak politik identitas.
Solusi yang perlu diciptakan menerapkan ruh-ruh Pancasila yang benar-benar dijalankan. Seperti mengurangi sifat hyper egoisme, baik secara individu ataupun secara kelompok yang secara nyata akan mengurangi penerapan sifat-sifat pancasila. Egoisme telah membuat Nusantara terpecah belah dari mas VOC sampai masa kini.Sifat egoisme akan menghambat cita-cita kemerdekaan Indonesia, yang tertuang dalam sila ke 5 Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Slamet Muljana, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Jilid I).Egois tidak memunculkan sikap tenggang rasa untuk bersama-sama membangun Indonesia yang bertanan imajinasi Pancasila yang berkeadilan sosial. Dengan mengesampingkan egoisme baik kelompok ataupun golongan akan membangun toleransi disegala bidang kehidupan yang berguna bagi kemajuan bangsa.
Harari, Yuval Noah, 2017, Sapiens, Alvabet, Jakarta
Heryanto, Ariel, 2015, Identitas dan Kenikmatan (Politik Budaya Layar Indonesia), Kepustaakaan Populer Gramedia, Jakarta
Muljana, Slamet, 2008,Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Jilid I, LKiS, Yogyakarta
https://tirto.id/melayu-islam-dan-politisasi-pribumi-ala-kolonial-cyxE (Diakses pada 14 Agustus 2019, pukul 14.34)
Love u pol pak
BalasHapus